JAKARTA – Berbagai fakta mengejutkan terkuak sepanjang berlangsungnya persidangan perkara dugaan korupsi pembelian LNG oleh Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat di PN Jakarta Pusat dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan.
Terkait perkara tersebut, Praktisi Hukum Augustinus Hutajulu, Minggu (19/5/2024) mengutarakan, Majelis Hakim yang mengadili demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus benar-benar ekstra hati-hati mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang hakiki sebagai dasar putusannya nanti.
“Kita harus selalu ingat bahwasanya lebih baik membiarkan perbuatan orang yang bersalah tidak dihukum daripada menghukum orang yang tidak bersalah, satius est impunitum relinqui facinus nocentis, quam innocentem damnari,” ungkap Augustinus.
Menurut Augustinus, kita juga harus selalu ingat teriakan Jean de Labruyere, “Dihukumnya seorang yang tidak bersalah menjadi pikiran dari setiap orang”.
Augustinus lantas mengutarakan, selain apa yang telah disampaikan Ketua Umum PKKEI Syamsul Bachri dan Rektor Universitas Proklamasi 45 Jogjakarta, Benedictus Renny See maupun keterangan mantan SVP Pertamina Aris Mulya Azof, Majelis Hakim tentunya harus mempertimbangkan adanya potensi kerugian besar yang akan dialami Pertamina dan juga Negara Republik Indonesia jika Karen Agustiawan dihukum.
Jika Karen dinyatakan melanggar hukum Indonesia, maka CCL dapat memutus secara sepihak kontrak jual beli LNG dengan Pertamina. Tentu ada denda yang harus dibayar oleh Pertamina.
Kemudian, pada saat CCL memutus kontrak dengan Pertamina itu, mengingat Pertamina sudah menjual sejumlah LNG yang dibeli dari CCL itu ke pihak lain, tentu pihak pembeli itu akan menuntut Pertamina karena tidak bisa mengirim LNG ke mereka. Pertamina juga akan didenda karena hal ini.
“Majelis Hakim menurut saya juga harus mempertimbangkan apa yang pernah disampaikan Karen Agustiawan dalam surat terbuka kepada Presiden RI pada tanggal 25 September 2023 lalu, bahwa kerugian akibat terminasi kontrak dapat mencapai sekitar USD 127 juta (Rp 1,95 Trilyun). Kerugian tersebut belum mencakup potensi klaim dari para Pembeli Pertamina, dan kerugian immateril lainnya seperti reputasi Pertamina, serta hilangnya sumber gas untuk keperluan Indonesia di masa yang akan datang,” jelas Augustinus.
Tidak hanya itu, lanjut Augustinus, secara logis, tentu sebagai konsekuensi dari putusnya kontrak pembelian LNG antara Pertamina dan CCL, maka CCL dapat menjual LNG yang mestinya dijual ke Pertamina ke pembeli lain setelah putusnya kontrak dengan Pertamina dengan harga lebih mahal. Dalam kontrak berdurasi panjang antara Pertamina dan CCL, Pertamina berhasil dapat harga USD 3.5 per MMBTU. Sementara saat ini harga LNG dunia melonjak tinggi karena adanya perang Rusia – Ukraina.
Jadi dalam kasus ini, lanjut praktisi hukum ini, Majelis Hakim haruslah lebih mempertimbangkan kemanfaatan putusan atas kasus ini bagi negara kita sebagaimana lebih diinginkan oleh Gustav Radbruch yang lebih menitikberatkan kemanfaatan hukum ketimbang kepastian hukum dan keadilan hukum dalam Tricita Hukum.
“Negara kita juga mengajukan tuntutan atas suatu perkara demi kepentingan umum, bukan untuk kepentingan perorangan atau golongan atau untuk mengorbankan seseorang atau sekelompok orang entah untuk kepentingan apa atau siapapun,” pungkas Augustinus.(*)