JAKARTA – Ketua Umum Pusat Kajian Ketahanan Energi Indonesia (PKKEI) Syamsul Bachri menilai kasus hukum terhadap Galaila Karen Kardinah atau lebih dikenal Karen Agustiawan, sangat rumit lantaran memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup terkait pemahaman kebijakan atau penugasan pemerintah terkait aksi bisnis korporasi, tata-kelola BUMN, dan kelaziman bisnis LNG.
Karena itu, kata Syamsul pada media vivacoid, ia berharap Majelis Hakim dapat memahami dengan benar kasus itu secara utuh. Sehingga, bisa mengambil keputusan yang seadil-adilnya bahwa Direksi pada era Karen Agustiawan sudah menjalankan perintah jabatan dalam upaya mewujudkan ketahanan energi.
“Aksi korporasi pengadaan LNG CCL yang dilakukan oleh Pertamina tahun 2013 dan 2014, berhasil memotret kondisi masa depan yang terjadi saat ini serta proyeksi kecukupan dan keterjangkauan harga gas 10 sampai 15 tahun ke depan,” katanya.
Berdasarkan keterangan Rektor Universitas Proklamasi 45 Jogjakarta, Benedictus Renny See dalam sidang di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, terkait kasus dugaan korupsi mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Karen Agustiawan, terungkap hal yang megejutkan. Namun banyak kalangan yang menyayangkan kasus ini seperti menyasar orang tertentu di Pertamina.
Apalagi Benedictus menjelaskan, perhitungan adanya kerugian keuangan negara yang disampaikan oleh BPK berubah-ubah angkanya.
“Itu merupakan indikasi bahwa apa yang disampaikan oleh BPK tentang angka kerugian PT Pertamina akibat adanya Sales and Purchase Agreement (SPA) LNG 2015 sebesar USD113,389,186.60 tidak akurat,” kata Benedictus seperti dilansir vivacoid, Sabtu (19/5/2024).
Dengan demikian, katanya, apabila dalam perjalanannya yaitu pada 2020 dan 2021 terjadi kerugian negara, maka sudah bukan menjadi tanggung jawab Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan.
“Apalagi kebijakan PT Pertamina dalam mengadakan perjanjian jual beli dengan Corpus Christi Liquefaction, LLC (CCL) adalah guna mengantisipasi ketersedian LNG untuk jangka panjang, dalam rangka ketahanan dan bauran energi yang harus dijaga dan menjadi tanggung jawab PT Pertamina (Persero) sesuai dengan tugas dan wewenangnya,” kata Benedictus.
Sebab, ulasnya Benedictus, proses SPA LNG 2015 adalah perjanjian jual dan pembelian jangka panjang selama 20 tahun hingga 2040 yang harga LNG tersebut akan selalu berubah tergantung kondisi pasar, geopolitik, bencana alam, pandemi, kondisi domestik dan lain-lain, bisa untung bisa rugi.
“Bahwa apa yang menjadi dasar surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Karen Agustiawan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah tidak terbukti,” pungkasnya.
Kemudian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Aris Mulya Azof sebagai saksi dalam persidangan mengatakan pernah menjabat sebagai Senior Vice President for Downstream, Gas & Power, New & Renewables Business Development & Portfolio (2021-2024) di PT Pertamina.
“Penjualan LNG Pertamina tahun 2019 hingga 2023 terhitung positif jika diakumulasikan,” katanya.(*)