JAKARTA – Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) menyayangkan komentar juru bicara (Jubir) KPK terhadap keterangan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebagai saksi meringankan bagi Karen Agustiawan yang telah diduga melakukan tindak pidana korupsi Import LNG Coprus Cristi Limited (CCL) Amerika Serikat.
“Sebab JK memberikan keterangan atas kebijakan pemerintah tentang ketahanan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006, bukan membentuk opini, itu mungkin persepsi dia saja bahwa JK beropini, sah-sah saja,” ungkap Sekretaris Eksekutif CERI, Hengki Seprihadi, Minggu (19/5/2024) di Pekanbaru.
Hengki juga mengungkapkan, sebaiknya Jubir KPK bicara ke publik soal kenapa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim tidak kunjung menghadirkan saksi dari CCL dan Blakstone USA di persidangan, sebab ada tim KPK yang pernah ke Amerika Serikat untuk menelisik ke perusahaan sebagaimana yang dikutip banyak media.
“Jubir KPK juga menurut kami lebih baik menjelaskan ke publik kenapa JPU dari KPK tidak kunjung menghadirkan Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN saat itu, mantan Dirut Pertamina periode 2014-2017 Dwi Sucipto sampai dan Nicke Widayawati selaku Dirut Pertamina sejak 2018 sampai sekarang ke persidangan,” tanya Hengki.
Hengki mengatakan, ketiga nama tersebut tentu selayaknya dihadirkan ke persidangan lantaran mereka bertiga sempat diperiksa KPK dan ada di Berita Acara Pemekrisaan (BAP) untuk kasus dugaan korupsi LNG ini.
“Jadi biar publik bisa menyaksikan keterangan mereka bertiga di bawah sumpah untuk dikonfrontir dengan terdakwa Karen Agustiawan di depan Majelis Hakim di persindangan, supaya terang benderang kasus ini di depan publik, jangan ada yang disembunyikan,” ungkap Hengki.
Seharusnya, kata Hengki, keterangan JK sebagai saksi meringankan Karen Agustiawan dihadirkan setelah Dahlan Iskan, Dwi Sucipto dan Nicke Widyawati memberikan keterangan di persidangan, bukan sebaliknya. Sehingga tidak menjadi tanda tanya publik kenapa mereka bertiga tidak dihadirkan Majelis Hakim dan JPU ke persidangan.
“Sebab katanya menurut fakta persidangan bahwa (Sales Purchase Gareement) SPA tahun 2013 dan 2014 di era Karen sebagai Dirut PT Pertamina telah diamandemen semuanya dengan SPA tahun 2015 yang dibuat di era Dwi Sucipto menjabat Dirut Pertamina. Kargo LNG direalisasikan pada tahun 2019 di era Nicke Widyawati sebagai Dirut Pertamina,” pungkas Hengki.
Pengaruh Pandemi Covid 19
Lebih lanjut Hengki mengatakan, sebagaimana dilansir dailymotion.com, pada 13 Mei 2024 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) yang melibatkan Mantan Direktur Utama PT Pertamina Periode 2009-2014 Karen Agustiawan.
Penasihat Hukum Karen menghadirkan Aris Mulya Azof sebagai saksi dalam persidangan. Aris pernah menjabat sebagai Senior Vice President for Downstream, Gas & Power, New & Renjewables Business Development & Portfolio (2021-2024) di PT Pertamina.
Aris menyebut, penjualan LNG Pertamina tahun 2019 – 2023 terhitung positif jika diakumulasikan.
“Jika secara akumulasi, sejak hari pertama penjualan, sampai dengan 95 kargo di tahun 2023, besarnya akumulasi gross margin sebesar 91,6 juta dollar (USD,red) positif, untung. Itu uangnya sudah ada di kas Pertamina, pembayaran semua cash sudah diterima, dan angka ini datang dari fungsi keuangan, bukan dari fungsi LNG,” ungkap Aris.
Aris juga menyebutkan, dari 95 kargo, terdapat 8 penjualan kargo rugi dan 3 kargo suspend. Penjualan rugi terjadi pada 2020 hingga 2021. Pada tahun 2020 hingga 2021 pasar global LNG mengalami penurunan harga yang signifikan akibat Pandemi Covid 19. Hal itu juga membuat permintaan menurun dan tempat penyimpanan LNG sudah terlalu penuh untuk menampung. Sehingga LNG terpaksa dijual kembali dengan harga lebih murah. (*)