PINDAH Ibukota Negara (IKN) itu biasa. Tidak sedikit negara di dunia melakukannya. Yang tidak biasa adalah ngotot, memaksakan kehendak tanpa melihat urgensi dan momentumnya. Inilah sebenarnya sumber persoalan kita. Ketika APBN masih defisit, ekonomi belum stabil, dan Covid-19 masih mengancam, kebijakan memindahkan Ibukota terasa tidak relevan.
Rakyat berhak curiga. Apalagi, memori kolektif mereka mencatat sejumlah pembangunan infrastruktur yang mengecewakan. Ada yang tidak efektif, ada yang tidak tepat sasaran, dan ada pula yang terancam mangkrak. Celakanya, sebagian dari duit pembangunan itu diperoleh dengan cara hutang. Sudah hutangnya menumpuk, eh, infrastruktur yang dihasilkan tidak maksimal.
Pemerintah seharusnya sensitif, menjawab kecurigaan rakyat dengan penjelasan komprehensif. Bukan justru ugal-ugalan mengetok palu bersama DPR. DPD memang menjadi bagian dari keputusan tersebut. Namun, DPD memberi catatan kritis dan telah disampaikan secara terbuka dalam beberapa tulisan dan pemberitaan.
Pemindahan IKN adalah pekerjaan besar, masif, dan multi kompleks sehingga memerlukan perencanaan yang matang. Ini bukan saja tentang membangun kawasan tetapi juga membangun peradaban. Peluangnya besar, tapi itu sebanding dengan risikonya. Bila tak direncanakan dan dikelola dengan baik, risiko dipastikan akan lebih dominan ketimbang peluangnya.
Paceklik ekonomi membuat potensi risiko itu membesar. Tak percaya? Tengok situasi berikut. Aset ibukota lama nyatanya akan dioptimalkan pemerintah sebagai salah satu sumber merogoh cuan, demi menyuplai. Caranya beragam. Direktur Barang Milik Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Encep Sudarwan memberi sinyal. “Aset DKI Jakarta tidak selalu dijual, namun juga dapat dikerjasamakan dengan pemberian waktu 30 tahun atau beberapa tahun, dan duitnya digunakan di IKN.” (katadata.com).
Proses pengalihan aset tentu rawan karena membuka celah korupsi. Apalagi, nilai aset DKI Jakarta begitu besar dan entah berapa yang akan dialihkan. Kementerian Keuangan mencatat, dari total aset negara sebesar Rp 11.098 triliun, sebanyak Rp 1.000 triliun di antaranya berada di Jakarta. Ini berbahaya. Apalagi, kita punya sejarah korupsi yang bikin bulu kuduk berdiri. Ya, bahkan dana bantuan sosial bagi rakyat miskin saja ditilap oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, salah satu dari tujuh menteri terbaik Jokowi menurut survei Charta Politika.
Dulu, Presiden Jokowi mengatakan pembiayaan IKN tidak akan membebani APBN. Belakangan, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI 4 Februari 2020 Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, dari Rp 466 triliun total dana pembanguna IKN, sebanyak Rp89 triliun menggunakan APBN. Angka itu lalu berubah lagi. Pemerintah mengakui skema IKN Nusantara akan lebih banyak mengeruk APBN, yakni sebesar 53,3 persen dari total dana. Lalu apa jaminannya pernyataan-pernyataan ini tidak berubah lagi?
Janji yang terpungkiri ini mengingatkan kita pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Janji yang terpungkiri seolah menjadi salah satu khas Jokowi selama memimpin. Terhadap perubahan sumber dana IKN, media massa menyebut Presiden Jokowi meralat janjinya. Lalu apa bahasa sederhana meralat janji?
Ironisnya, sumber dana buat menambal biaya pembangunan IKN Nusantara salah satunya dari Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) klaster Penguatan Pemulihan Ekonomi, sebesar Rp 178 triliun. Ini jelas keterlaluan. Bagaimana mungkin dana penanggulangan kondisi darurat pandemi Covid-19 digunakan untuk pendanaan lain di luar peruntukannya?
RUU APBN 2022 telah diketok pada November 2021 lalu. Kita tahu, untuk merubah alokasi anggaran proyek nasional diperlukan mekanisme APBN Perubahan. Pengumuman penggunaan APBN tanpa melalui APBN Perubahan adalah contoh etika pengelolaan keuangan negara yang tidak elok. Boleh jadi situasi ini menjadi persoalan hukum.
Yang aneh, latar belakang pemilihan Penajam Paser Utara (PPU) sebagai lokasi IKN Nusantara tidak ditemukan dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Padahal, sangat penting bagi pemerintah mengungkap dan membahasnya, sehingga masyarakat dapat memahami secara jernih.
Akibatnya, spekulasi tak bisa dihindarkan, seiring beredarnya data-data terkait IKN di tengah masyarakat. Terhadap 256 ribu hektare lahan IKN, misalnya, ternyata dominan dimiliki oleh hanya segelintir elit Jakarta. Meski bentuknya HGU dan merupakan lahan milik negara, tetapi tetap saja perlu kompensasi tertentu bila negara ingin mengambilnya kembali.
Suplai listrik IKN Nusantara juga demikian. Spekulasi rakyat mengarah kepada kepentingan China di balik keterlibatan China Power pada PLTA Sungai Kayan. Padahal, PLTA ini belum beroperasi. Namun publik tetap saja mengaitkannya, karena Kepala Staf Presiden Moeldoko pernah menyebut PLTA Sungai Kayan adalah salah satu penyuplai listrik IKN.
Minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU IKN melecut kecurigaan masyarakat bertambah besar. Pembahasan yang tergesa-gesa pada akhirnya berpotensi melalaikan masyarakat yang terkena dampak. Alasan ini pula yang menjadi salah satu dasar bagi sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Kalimantan Timur menolak pemindahan ibu kota.
Sejumlah akademisi menilai, pembahasan dan pengesahan UU IKN tidak lazim, terkesan tertututup, tergesa-gesa, sehingga berpotensi cacat secara prosedural formil maupun materil. Salah satu yang dipersoalkan adalah status ambigu Ibukota Negara yang berbentuk otorita, yakni lembaga pemerintah setingkat kementerian. Padahal, nomenklatur otorita tidak dikenal dalam aturan perundang-undangan. Tentang hal ini, DPD RI telah mengingatkan.
Kini, pemerintah harus siap menghadapi gugatan rakyat di Mahmakah Konstitusi (MK). Din Syamsuddin, Faisal Basri dan sejumlah tokoh agaknya mulai bersiap-siap. Saya pribadi mendukung langkah itu. Selain karena merupakan hak konstitusional warga negara, gugatan ke MK sekaligus menjadi penyeimbang agar produk legislasi kita berkualitas dan tepat sasaran. Semoga hasilnya tidak seperti UU Cipta Kerja Omnibus Law yang diputus MK bertentangan dengan UUD 1945. Agar kita yang diamanahi duduk di kursi legislatif tetap punya muka.***
Tamsil Linrung
Penulis adalah Anggota DPD RI