PERJANJIAN Penyesuaian FIR telah ditandangani oleh Indonesia dan Singapura pada 25 Januari 2022.
Pemerintah mengklaim Flight Information Region (FIR) yang berada di atas Kepulauan Riau dan sekitarnya telah berada di bawah kendali Indonesia dan tidak lagi Singapura.
Klaim ini tentu sulit diketahui kebenarannya sebelum secara cermat Perjanjian Penyesuaian FIR dipelajari. Saat ini perjanjian tersebut belum dapat diakses oleh publik.
Bila saatnya perjanjian ini hendak disahkan oleh DPR, maka publik akan mendapat akses.
Namun bila merujuk pada siaran pers Kemenko Marves dan berbagai pemberitaan di Singapura, sepertinya kendali FIR belum berada di Indonesia.
Ada tiga alasan untuk ini. Pertama, Siaran Pers Kemenko Marves menyebutkan di ketinggian 0-37,000 kaki di wilayah tertentu dari Indonesia akan didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.
Ini yang oleh media Singapura disebut hal yang memungkinkan bagi Bandara Changi untuk tumbuh secara komersial dan menjamin keselamatan penerbangan.
Kedua, menurut media Singapura, seperti channelnewsasia, maka pendelegasian diberikan oleh Indonesia untuk jangka waktu 25 tahun.
Repotnya jangka waktu ini dapat diperpanjang sesuai dengan kesepakatan kedua negara.
Ini berarti pemerintah Indonesia tidak melakukan persiapan serius untuk benar-benar mengambil alih FIR di atas Kepulauan Riau.
Apakah 25 tahun tidak terlalu lama? Lalu tidakkah perpanjangan waktu berarti tidak memberi kepastian.
Memang konsep FIR bertujuan untuk keselamatan penerbangan, namun pada kenyataannya Bandara Changi dapat mencetak keuntungan besar bila FIR di atas Kepulauan Riau masih dikendalikan oleh Singapura.
FIR atas ruang udara suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara bisa saja dikelola oleh negara lain. Hanya saja bila dikelola oleh negara lain menunjukkan ketidakmampuan negara tesebut dalam pengelolaan FIR yang tunduk pada kedaulatannya.
Bagi Indonesia muncul sejumlah pertanyaan atas Perjanjian Penyesuaian FIR, antara lain, apakah hingga saat ini Indonesia belum dapat mengelola FIR di atas Kepulauan Riau?
Apakah butuh 25 tahun lagi untuk akhirnya bisa? Ataukah 25 tahun tersebut mungkin tidak mencukupi sehingga perlu untuk diperpanjang lagi?
Lalu menjadi pertanyaan dimanakah kehormatan (dignity) Indonesia sebagai negara besar bila tidak mampu mengelola FIR di atas wilayah kedaulatannya dan menjamin keselamatan penerbangan berbagai pesawat udara.
Apakah Indonesia rela bila Changi terus berkembang secara komersial karena FIR di atas Kepulauan Riau dipegang oleh Singapura dan tidak Soekarno Hatta?
Berbagai pertanyaan ini yang mungkin akan ditanyakan oleh Komisi I DPR saat Perjanjian Penyesuaian FIR dibahas untuk pengesahan.(*)
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional UI