Oleh: Agustinus Edy Kristianto
SAMPAI detik ini, tak ada pernyataan apapun dari Presiden Jokowi mengenai dugaan skandal bisnis PCR PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Padahal dua menterinya santer disebut: Menteri BUMN Erick Thohir (ET) dan Menko Marives Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).
Saya pribadi menanti di mana posisi Presiden terhadap masalah dugaan konflik kepentingan. Itu ukuran yang relatif jelas untuk menilai sejauh mana komitmen Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan terhadap pemerintahan yang bersih dan bebas KKN.
Siapa saja bisa mengklaim sebagai “orang baik”, tapi saat ini masyarakat menuntut bukti. Jika situasinya tetap seperti sekarang–artinya nihil perlawanan dari Presiden terhadap konflik kepentingan bisnis pejabat negara–maka dapat kita simpulkan itulah esensi dari revolusi mental.
Artinya, silakan Anda ambil ponsel dan hubungi siapa saja keluarga, rekan, teman yang bekerja di pemerintahan dan ajaklah berbisnis terang-terangan dengan memanfaatkan jabatan mereka. Jika menteri saja ditoleransi, mengapa masyarakat tidak.
Ikan Busuk Berawal dari Kepala
Beberapa kawan mengistilahkan serangan saya menggunakan Trisula: skandal bisnis PCR, investasi BUMN Telkom di Gojek-Tokopedia (GoTo), dan sengketa anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Rekind) vs PT Panca Amara Utama (PAU). Ketiganya memiliki pola yang relatif sama, melibatkan aktor yang relatif sama juga. Relasi antara posisi ET sebagai Menteri BUMN dan bisnis-bisnis saudaranya, Garibaldi (Boy) Thohir, sangat jelas. Sinyal konflik kepentingan terlihat nyata.
Namun, beberapa hari terakhir, terdapat kontranarasi yang cenderung menyepelekan relasi tersebut dan menempatkannya sebatas hitungan statistik: persentase sahamnya kecil, market share kecil, mainannya kecil, tidak ambil untung sepeser pun.
Kontranarasi lainnya bak script sinetron. Niat untuk menolong yang tidak dihargai (saya diberi tahu bahwa Yayasan Adaro telah menyumbang lebih dari Rp80 miliar untuk membantu penanganan Covid-19), semakin tinggi pohon semakin besar anginnya, semua tudingan akan terbantahkan dengan kerja, kedepankan akhlak, dan sebagainya.
Tapi kita tidak mengadili niat. Mens rea (sikap batin yang mendorong orang melakukan perbuatan) tidak kita perbincangkan saat ini. Masyarakat melihat fakta, pola, dan aktornya. Dari situ muncul rasa ketidakadilan kolektif.
Menyumbang tak melulu soal besar-kecilnya rupiah, tak selalu cerita tentang mereka yang memberi dari kelimpahannya. Banyak orang biasa yang menyumbang dari kekurangannya, semua yang ada padanya, seluruh nafkahnya. Itu tak kalah mulianya dari sumbangan orang yang berlimpah-limpah kekayaannya.
Keberatan publik terhadap skandal bisnis PCR juga tidak ada kaitannya dengan degradasi terhadap kegiatan social enterprise/social business. Para pegiat social enterprise silakan bekerja tapi jangan mau dijadikan bumper untuk membenarkan sesuatu yang menyimpang. Social enterprise baik, memaksimalkan profit sekaligus memaksimalkan benefit bagi kepentingan sosial kemasyarakatan.
Apa yang dilakukan perusahaan kacamata Warby Parker melalui program Buy a Pair, Give a Pair—seperti dicontohkan Investopedia—berbeda konteks dengan GSI. Warby Parker tidak melibatkan pejabat negara dalam bisnisnya, apalagi mencantumkan anak perusahaan yang dikendalikan perusahaan menteri atau yayasan yang didirikan perusahaan saudara menteri sebagai pemegang sahamnya.
Intinya: jangan banyak dalih atau Anda akan semakin terpojok!
Bagi saya, skandal PCR sekarang merupakan konsekuensi alamiah dari abainya Presiden Jokowi terhadap masalah konflik kepentingan bisnis pejabat selama ini. Ia diamkan itu dan saat ini tengah terjadi akumulasi kemuakan masyarakat. Apalagi PCR adalah sesuatu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Selain itu, dampak dari pembiaran Presiden terhadap konflik kepentingan adalah rusaknya sistem ketatanegaraan serta moral dan etika pemerintahan.
Contoh Preseden Berdasarkan Info dan Dokumen yang Saya Punya
Tahukah Anda di balik kemeriahan jargon Presiden tentang Revolusi 4.0, Unicorn/Decacorn, Kedaulatan Digital, dan sebagainya itu ternyata ada seorang Boy Thohir (Presiden Komisaris GoTo) yang saat ini setidaknya menggenggam aset berupa saham di PT Aplikasi Karya Anak Bangsa/AKAB (GoTo) senilai Rp514,4 miliar? Akta Perubahan No. 128 tanggal 29 Oktober 2021 mencantumkan nama Garibaldi Thohir sebagai Komisaris Utama sekaligus pemegang 1.054.287.487 lembar saham GoTo senilai Rp1.054.287.487 (Rp1/lembar). Modal dasar, ditempatkan, dan disetor penuh sebesar Rp918,8 miliar.
Berita terbaru adalah masuknya Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) ke GoTo dengan investasi sebesar US$400 juta. Valuasi GoTo saat ini ditaksir mencapai US$32 miliar (Rp448 triliun, kurs Rp14 ribu). Artinya, sekarang, Boy Thohir menggenggam kekayaan di GoTo sebesar Rp514,4 miliar sendiri (asumsi Rp487,5/lembar berdasarkan valuasi terbaru). Bisa dibayangkan pertambahan kekayaan dia begitu GoTo IPO dan sahamnya diterbangkan ke bulan.
Saya dengar, target Rp7,5 triliun untuknya sendiri, akan mudah tercapai.
Tahukah Anda ke mana gerangan larinya mantan Menparekraf Wishnutama Kusubandio? Dulu, dia juga ‘buruan’ saya ketika saya persoalkan dugaan konflik kepentingannya dengan PT Tokopedia. Ternyata sekarang dia menjabat sebagai Presiden Komisaris Telkomsel (anak perusahaan yang dikendalikan BUMN PT Telkom) sekaligus Komisaris PT AKAB (GoTo).
Presiden Jokowi tidak pernah mengakui skandal ketatanegaraan ini. Wishnutama (dan Menko Marives Luhut Pandjaitan) adalah satu dari beberapa pendamping Jokowi ketika bertemu Presdir Softbank Masayoshi Son pada Senin, 29 Juli 2019. Pada 23 Oktober 2019, Wishnutama diangkat sebagai Menparekraf. Kemudian, ini yang luar biasa aneh, Wishnutama diangkat sebagai Komisaris PT Tokopedia pada 28 November 2019 (Akta PT Tokopedia No. 271).
UU 39/2008 tentang Kementerian Negara jelas melarang menteri merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta (Pasal 23 huruf b). Menteri harus diberhentikan oleh presiden jika melanggar larangan itu (Pasal 24).
Tapi Jokowi baru mencopot Wishnutama pada 23 Desember 2020. Butuh waktu hampir setahun negara membayar untuk sebuah pelanggaran aturan. Lalu, pada 14 Februari 2021, Wishnutama menjabat Komut Telkomsel sekaligus Komut Tokopedia.
Mengapa soal Telkomsel dan Tokopedia itu layak dicurigai? Sebab, keduanya terlibat bisnis triliunan rupiah!
Laporan Keuangan Triwulan II 2021 TLKM mencatat adanya penyertaan jangka panjang pada instrumen keuangan berupa OBLIGASI KONVERSI TANPA BUNGA melalui Telkomsel di PT AKAB sebesar Rp2,1 triliun (per 31 Desember 2020) dan investasi pada ekuitas di AKAB senilai Rp6,7 triliun (per 30 Juni 2021). Akta PT AKAB No. 128 tanggal 29 Oktober 2021 mencantumkan PT Telkomsel menguasai 23.722.133.875 lembar saham Seri P senilai Rp23.722.133.875. Nilai itu turun dari yang tercantum pada akta sebelumnya No. 158 tanggal 28 Mei 2021 senilai Rp44.562.500.000 (89.125 lembar saham seri P).
Posisi ET sebagai Menteri BUMN sangat vital (ia berwenang mengangkat direksi dan komisaris BUMN, salah satunya). Ia mewakili Negara RI sebagai pemegang 52% saham di PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Sementara Telkomsel adalah perusahaan yang 65% sahamnya dikuasai Telkom. Lihat Peraturan Presiden No. 81/2019 tentang Kementerian BUMN. Kementerian BUMN menyelenggarakan fungsi perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pengembangan usaha, INISIATIF BISNIS STRATEGIS… (Pasal 5 huruf a).
Lihat juga apa jadinya Wishnutama yang sebagai Komisaris bertugas mengawasi direksi Telkomsel tapi pada saat yang bersamaan ia juga sebagai Komisaris yang bertugas mengawasi direksi GoTo. Padahal GoTo dan Telkomsel terlibat ikatan bisnis.
Jika mau dilihat lebih dalam lagi, ada potensi benturan kepentingan lain. Advisor merger Gojek dan Tokopedia adalah firma hukum Assegaf, Hamzah & Partners. Sementara Managing Partners firma hukum itu, Bono Daru Adji, saat ini menjabat Komisaris TLKM sekaligus KETUA Komite Audit. Asal tahu saja, firma hukum itu juga yang mewakili PT GSI ketika menerbitkan surat utang Rp77,5 miliar pada 15 Juni 2020.
Jadi dapat disimpulkan begini modelnya: sekelompok orang ‘berinvestasi’ pada suksesi politik untuk memenangkan satu figur. Setelah terpilih, dilakukanlah okupasi kebijakan. Operasionalisasi kebijakan yang telah diokupasi itu dilanjutkan dengan penempatan personel. Semua peristiwa itu lantas dikemas dalam suatu pola narasi komunikasi yang bertujuan image building dan pengendalian persepsi publik. Masyarakat pun hidup dalam ilusi.
ET menjadi Ketua Tim Kampanye Jokowi. ET menjadi Menteri BUMN. Perusahaan saudaranya berbisnis dengan anak perusahaan BUMN dan mendapatkan dana segar triliunan rupiah. Alhasil, saudara Menteri BUMN mendapatkan saham. Perusahaan itu kemudian dijual ke publik (IPO) dan nilainya dibuat tinggi. Semakin tinggi nilai perusahaan semakin bertambah kekayaan pemiliknya.
Setelah IPO, limpahan kekayaan akan semakin tak terbendung. Perusahaan akan terbuka pintunya ke sumber pendanaan baru: dana penjualan saham via IPO, akses kredit perbankan (di mana ada sejumlah bank besar juga berstatus BUMN), akses ke pasar uang (melalui penerbitan surat utang), hingga melakukan repurchase agreement/Repo.
IPO GoTo akan menjadi arena permainan besar. Di dalamnya ada raksasa seperti Google, Astra International, Mitsubishi, Softbank, Facebook, ADIA, Paypal, AIA Financial, Sequis Life, Northstar (dikendalikan oleh Patrick Walujo—menantu TP. Rachmat—yang yayasannya juga menjadi pemegang saham GSI), Rakuten, Sequoia Group, Tencent, VISA, Global Digital Niaga/GDN (Grup Djarum), dan banyak lagi investment fund lainnya.
Dengan terkuaknya skandal bisnis PCR saat ini, Presiden Jokowi tak bisa lagi cuek dan main-main. Taruhannya adalah sejarah! Sejarah akan mencatat Jokowi sebagai presiden yang buruk dalam hal tata kelola pemerintahan dan antikorupsi. Ia akan dijuluki Bapak Konflik Kepentingan Nasional. Ia potensial dicemooh sebagai Bapak Anti-Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN.
Merah Putih Telah Berkorban Begitu Banyak untuk Kepentingan Segelintir Orang
UU Cipta Kerja menjamin perpanjangan izin perusahaan-perusahaan tambang batubara (termasuk Adaro), menyuntikkan dana triliunan kepada swasta tertentu (dalam kasus Gojek-Telkomsel), menghapuskan tagihan setidaknya Rp700 miliar terhadap PT PAU (di mana saudara Menteri BUMN menjabat sebagai presiden komisarisnya dalam kasus Rekind-Pupuk Indonesia), dan membuka pintu bagi GSI (di dalamnya ada Yayasan Adaro) untuk menjalankan bisnis kesehatan.
Mata masyarakat akan makin terang melihat siapa sosok Presiden Jokowi yang sebenarnya melalui sikap dan pilihannya terhadap Trisula Skandal itu.
Ia pelindung kepentingan masyarakat umum atau satpam kepentingan oligarki yang kekayaannya ‘terancam’ bertriliun-triliun rupiah itu?
Jangan mudah percaya narasi “orang baik”, “niat tulus membantu”, “kerja, kerja, kerja”, “kedepankan akhlak”.
Lihat bukti dan perbuatannya, kritisi apa yang sebenarnya hendak ditutup-tutupi, curigai tangan-tangan tak tampak yang mendalangi semua lakon ini.
Jangan cuma lihat kecap manis dalam iklan dan tampilan luar pejabat yang (dibuat) seolah-olah merakyat. Salam.***