KEMARIN, tanggal 5 Agustus 2021, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal (Q) 2 Tahun 2021 yakni April, Mei dan Juni 2021. Melengkapi komentar-komentar yang muncul dan menjawab banyak pertanyaan yang saya terima, rasanya perlu diluruskan agar tidak ada misleading terhadap data lengkap BPS itu.
Dengan metoda yang sama (YoY), maka pertumbuhan ekonomi Kuartal 2/2021 Indonesia yang 7,07% itu sebenarnya terbilang rendah, sebab negara partner utama dagang Indonesia pertumbuhannya sebagai berikut, Singapore: 14,3%, Tiongkok: 7,9%, USA: 12,2%, Eropa: 13,2% dan Hongkong 7,5%.
Hal tersebut terjadi karena tahun dasar pembandingnya adalah Kuartal 2/2020 yang memang amat rendah alias kuartal yang paling jeblok.
Sementara yang ditekankan Menko Petekonomian hanya negara-negara yang pertumbuhannya lebih rendah dari Indonesia yang umumnya Kuartal 2/2021 memang sedang diterpa pandemi dahsyat seperti India dan Jepang.
Betul pertumbuhan dengan metode Q to Q untuk Q2/2021 Indonesia adalah 3,31. Tetapi bila kita melihat ke belakang, masih dengan metode Q to Q, kebanyakan pertumbuhan ekononomi Indonesia minus atau negatif. Dan sesuai dengan kesepakatan internasional, apabila dua kuartal berturut minus, berarti ekonomi sedang resesi.
Inilah datanya sejak ada Covid:
Q4/2019……………. -1,74
Q1/2020……………. -2,41
Q2/2020……………. -4,19
Q3/2020……………. 5,05
Q4/2020……………. -0,42
Q1/2021………………-0,92
Q2/2021……………… 3,31
Jadi lebih sering resesinya dan baru lepas Kuartal 2 ini yang positif. Tapi sudah dapat diduga bahwa Q3 tahun ini akan kembali minus lagi karena Pandemi kembali menerpa dengan PPKM-nya. Jadi nampaknya akan kembali ke resesi lagi bila Q4-nya kembali minus.
Jadi intinya pertumbuhan Q2/2021 yang tinggi itu (7,07%) adalah karena tahun pembandingnya (Q2/2020) memang rendah sekali.
Kedua, alhamdulillah ada kenaikan harga komoditas ekspor yang signifikan seperti batubara dan minyak sawit, jadi faktor eksternal, di luar kendali kita.
Jadi kesimpulannya, seperti dilaporkan BPS bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi Q2/2021 itu karena Low Base Effect, yaitu rendahnya Q2/2020 sebagai angka pembandingnya. Ingat kuartal 2/2020 kita sedang diterpa berat Pandemi.
Makanya meski pertumbuhan Q2/2021 nampak mengesankan, sebetulnya angka PDB-nya sendiri hanya Rp 2.773 triliun, alias masih di bawah angka PDB Q3/2019 atau sebelum ada Pandemi, yang Rp 2.819 triliun. Alias ekonomi kita masih menciut, belum kembali ke angka yang semula atau normal.
Last but not least, khususnya bagi ekonom yang suka dengan analisa varian atau pun hipotesa yang lebih kritis, dan tetap dengan metode YoY, dapat diungkapkan sebagai berikut, PDB (riil) Q2/2019 adalah Rp 2.735,4 Triliun.
Bila diasumsikan keadaan normal yaitu pertumbuhan ekonomi 5%, maka PDB Q2/2020 seharusnya Rp 2.872,2 Triliun alias masih lebih besar dari angka PDB Q2/2021 yang hanya Rp 2.773 Triliun, yang berarti masih minus.
Bila pertumbuhan Q2/2020 diasumsikan NOL persen alias sama saja dengan Q2/2019 yaitu Rp 2.735,4 Triliun, maka angka PDB Q2/2021 yang Rp 2.773 Triliun itu hanya menunjukkan pertumbuhan 1,3%.
Maka meski kita bersyukur dengan angka pertumbuhan resmi Q2/2021 yang 7,07% (YoY), tapi ekonomi kita sebetulnya masih jauh dari pulih. Kenapa? Karena PDB Q2/2021 masih di bawah PDB Q3/2019 yang Rp 2.819 Triliun atau praktis masih sama dengan Q4/2019 yang Rp 2.770 Triliun.
Itulah sebabnya saya sebutkan bahwa pertumbuhan 7,07% itu masih relatif rendah sebab untuk mengejar ketinggalan selama ini kita harus tumbuh dengan 2 digit seperti Singapore, USA dan Uni Eropa. Artinya, kita masih harus kerja keras dan cerdas, bukan euphoria apalagi membusungkan dada.***
6 Agustus 2021
Fuad Bawazier