Berburu Cuan dari Impor Alat Tes Covid-19: Rakyat Buntung Siapa Untung?

oleh

TERDAPAT beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosa apakah seseorang terpapar Covid-19 atau tidak. Mulai dari Real Time – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Tes Cepat Molekuler (TCM), serta Rapid Test Antibodi dan Rapid Test Antigen. Tes Cepat atau Rapid Test diperlukan sebagai langkah deteksi awal atau ‘skrining’. Bila hasilnya reaktif, maka dilanjutkan dengan RT-PCR yang memiliki tingkat keakuratan lebih tinggi.

Metode yang paling umum dan populer digunakan di Indonesia adalah Rapid Test Antibodi, Rapid Test Antigen dan RT-PCR. Bahkan di setiap kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah, selalu mensyaratkan hasil diagnosa salah satu metode tersebut. Untuk mendapatkannya, masyarakat harus merogoh kocek antara Rp 250 ribu sampai Rp 275 ribu untuk Rapid Test Antigen dan maksimal Rp 900 ribu untuk RT-PCR. 

Sejumlah pihak menilai, aturan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan itu masih terlalu mahal bila dibandingkan dengan yang berlaku di negara lain.

Di New Delhi India misalnya, Pemerintah setempat berkali-kali menurunkan biaya tes Covid-19 agar dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Terakhir diumumkan oleh Chief Minister Arvin Kejriwal pada 4 Agustus 2021.

Untuk Rapid Test Antigen dipatok biaya sebesar 300 Rupee atau setara Rp 58 ribu. Sedangkan untuk RT-PCR berkisar antara 300 Rupee sampai 500 Rupee atau senilai Rp 58 ribu sampai Rp 97 ribu. Sedangkan untuk RT-PCR ‘home service’ sedikit lebih mahal yakni 700 Rupee atau Rp 135 ribu.

Menurut Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Andi Khomeini Takdir, biaya murah seperti di India merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh negara-negara yang mampu memproduksi sendiri alat tes Covid-19. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Pada kisaran Maret-April 2020 lalu, BUMN Bio Farma menyatakan bahwa pihaknya mampu memproduksi alat tes RT-PCR antara 200 ribu sampai 400 ribu unit setiap bulan. Kemudian, pada Juli 2020, Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan Bio Farma untuk memproduksi 2 juta alat tes RT-PCR per bulannya. Ada pula Indofarma yang merakit sendiri alat tes RT-PCR di fasilitas produksi milik perusahaannya. Belum termasuk yang diselesaikan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan yang disuplai oleh industri manufaktur lokal. Oleh karena itu, Pemerintah sempat sesumbar tidak akan lagi menggunakan alat tes RT-PCR impor.

Presiden Jokowi pada Juli 2020 dengan tegas telah melarang jajarannya untuk membeli alat tes Covid-19 dari luar negeri. Baik alat Rapid Test maupun RT-PCR. Alasannya, Indonesia tidak lagi memerlukan impor alat-alat tersebut karena sudah mampu memproduksi sendiri. Bahkan, Presiden Jokowi meminta para Menteri untuk mempercepat penyerapan anggaran dengan cara membeli produk buatan lokal.

Namun, pada akhir September 2020 atau dua bulan setelah arahan Presiden Jokowi, Kepala BPPT, Hammam Riza membuat pengakuan bahwa Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Covid-19 masih menggunakan alat tes RT-PCR impor. Padahal, saat itu telah tersedia alat tes RT-PCR buatan lokal termasuk yang dikembangkan oleh BPPT. Berdasarkan pengujian, alat tes RT-PCR buatan BPPT memiliki efektivitas 100 persen dan sensitivitas di atas 95 persen. Angka ini sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan WHO sebagai organisasi kesehatan dunia.

Data di atas menjadi bukti bahwa Indonesia mampu memproduksi sendiri alat tes Covid-19 seperti India. Pertanyaannya, kenapa biaya di Indonesia masih jauh lebih mahal ketimbang di India bahkan setelah satu tahun berlalu? Apakah karya anak bangsa sengaja ditenggelamkan untuk memberi keleluasaan pada produk impor?Jangan-jangan, ada mafia yang sengaja meraup keuntungan dari impor alat tes Covid-19?***

R Haidar Alwi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.