Sebelas Pertanyaan dan Jawaban Seputar Covid 19

oleh
Elwin Tobing

1. Apakah kelompok yang skeptis tentang Covid menyangkal adanya coronavirus?

Yang skeptis bukan menyangkal bahwa coronavirus ada dan dapat menyebabkan korban jiwa. Tetapi mereka mempertanyakan apakah kecepatan penyebarannya dan tingkat bahayanya yang resmi disampaikan pemerintah di seluruh dunia betul-betul sesuai fakta. Ini karena perkiraan para pakar dan birokrat kesehatan umum di awal pandemi Covid ternyata meleset sangat jauh dari realitas. Sementara perkiraan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menjustifikasi kebijakan radikal dalam mengendalikan Covid.

Karena itu, golongan yang skeptis juga mempertanyakan apakah langkah-langkah pengendalian dan mitigasi sekarang adalah pilihan yang optimal.

2. Mengapa harus mempertanyakan kebijakan pengendalian Covid?

Ketika suatu kebijakan publik membawa konsekuensi biaya sosial, ekonomi, dan psikologis yang amat sangat tinggi, warga dunia yang peduli tentulah wajar mempertanyakannya. Apalagi efek negatif suatu kebijakan yang radikal tidak mudah membalikkannya dalam sekejab. 

Seperti kata pepatah, “menghancurkan sesuatu hanya perlu satu hari, tetapi membangunnya kembali perlu satu abad.”

Menurut Organisasi Pariwisata Dunia PBB, Eropa mencatat penurunan 70% dalam kedatangan turis pada tahun 2020, atau menurun lebih dari 500 juta wisatawan internasional, terbesar secara global. Organisasi tersebut juga memperkirakan bahwa situasi pada tahun 2021 akan lebih memburuk. Sementara ada sekitar 12 juta pekerja di sektor parawisata di Eropa.

Ian Smulders, pemandu wisata di Crete, Yunani mengatakan, “2021 akan jauh lebih buruk daripada apa pun yang kita alami pada tahun 2020.” Ini baru satu sektor.

3. Bagaimana impak pendidikan daring selama Covid?

Penelitian dari Brookings Institute di AS menunjukkan bahwa remote learning (pendidikan daring) yang terjadi oleh karena pilihan kebijakan publik mengatasi Covid bisa berakibat kerugian ekonomi sampai 10 triliun dolar di AS. Itu hampir setengah pendapatan nasional AS. 

Kerugian ini akan tercermin dari tingkat produktivitas nasional ketika pelajar dan mahasiswa tersebut sudah bekerja.

Brookings Institute bukan institusi yang anti Covid, tetapi analisa mereka tentang efek pendidikan daring ke pasar kerja patut dicermati. Bila itu benar, maka pendidikan daring bukan hanya lelucon, tetapi sangat negatif.

4. Covid tidak bisa diperbandingkan dengan penyakit lain, betulkah?

Baca Juga :   Berburu Cuan dari Impor Alat Tes Covid-19: Rakyat Buntung Siapa Untung?

Di tulisan sebelumnya saya mencoba menempatkan Covid dalam berbagai perspektif seperti menganalisa data yang ada secara objektif. Juga membandingkannya dengan penyakit kanker. Orang kemudian mempertanyakan, mengatakan bahwa Covid dan kanker tidak bisa dibandingkan.

Benar, berbagai penyakit tidak bisa dibandingkan begitu saja. Umumnya masing-masing penyakit punya efek tertentu terhadap sistim kekebalan tubuh. Juga menular dengan cara dan tingkat yang berbeda-beda. Secara medis, penanganannya atau pengobatannya juga berbeda-beda.

Tetapi banyak persamaan. Sama-sama menyangkut nyawa. Satu nyawa melayang oleh Covid seharusnya sama “nilainya” dengan satu nyawa melayang oleh karena kanker. Tidak ada alasan untuk berbeda. Bahkan jika berbeda, justru dalam hal ini, nyawa yang melayang oleh karena kanker bisa jadi lebih bernilai secara sosial dan ekonomi. 

Tidak ada yang lebih emosional secara sosial (dan potensi impak ekonomi ke sama depan) daripada kehilangan anak. Misalnya di AS, per 1 Agustus 2021 (setelah 18 bulan Covid), 596 anak di bawah 15 tahun meninggal oleh Covid. Atau 0.098% dari total kematian oleh dan bersama Covid.

Sementara tahun 2019, sejumlah 1115 anak di bawah usia 15 tahun meninggal di AS oleh karena kanker (1.7% total kematian kanker). Bila proyeksi sama untuk tahun 2020, maka dalam 18 bulan sekitar 1650 anak usia 15 tahun meninggal karena kanker, hampir tiga kali jumlah yang meninggal oleh Covid.

5. Tetapi kanker tidak menular, bukan?

Betul kanker tidak menular (meski secara genetis bisa transfer ke generasi berikutnya). Tetapi, suatu penyakit berbahaya atau tidak (yang menjadi dasar pengambilan keputusan umum untuk pengendaliannya), itu dilihat dari angka kematian yang disebabkannya. Bila suatu penyakit menular dengan cepat, tetapi tidak menyebabkan korban jiwa besar, penyakit tersebut relatif tidak berbahaya.

Sekali lagi, suatu penyakit mematikan atau tidak harus dilihat dari besarnya angka kematian yang disebabkannya.

Tetapi menggunakan data absolut dan tanpa perbandingan bisa kehilangan perspektif. Karena itu, seberapa mematikan suatu penyakit harus juga dilihat dari total penderita serta dibandingkan dengan penyakit lain.

Dari perbandingan total angka kematian relatif terhadap total penderita/terinfeksi, dan tingkat kematian penyakit serius yang lain, Covid tidak dapat bertahan dari skrunitas seperti saya sudah uraikan terdahulu. Covid memakan korban jiwa. Tetapi tidak seganas yang digambarkan dibanding beberapa penyakit lain.

Baca Juga :   Berburu Cuan dari Impor Alat Tes Covid-19: Rakyat Buntung Siapa Untung?

6. Tetapi Covid tetap tidak bisa diperbandingkan, bukan?

Bila tidak ada konsekuensi beban sosial, ekonomi, dan psikologis dari kebijakan Covid, maka tidak perlu melakukan perbandingan. Kita bisa mengambil kebijakan paling drastis sekalipun untuk mengendalikannya. Tetapi kita hidup di dunia yang penuh kelangkaan. 

Sumberdaya ekonomi terbatas. Beban sosial dan psikologis juga ada batasannya. Di sinilah perspektif perbandingan itu mutlak diperlukan.

7. Apakah tepat kebijakan Covid didasarkan semata-mata model epidemiologi dan rekomendasi birokrat/pakar kesehatan umum?

Sangat keliru. Epidemiologist dan birokrat kesehatan umum melihat Covid hanya dari satu sisi semata-mata (meski tetap keliru). Yakni bahayanya. Anthony Fauci di AS adalah epitome daripada kelompok ini. Buat dia, lockdown kehidupan juga tidak masalah untuk menurunkan bahaya Covid. 

Ini mirip pepatah bahwa ketika palu satu-satunya senjata yang Anda punya, maka segala persoalan bagi Anda kelihatan seperti paku.

Ekonom melihat Covid lebih menyeluruh, dan tetap dalam konteks dunia yang penuh kelangkaan.

Misalkan situasi berikut. Satu keluarga lima orang. Satu orang sakit parah oleh suatu penyakit. Keluarga memutuskan menjual segala kepunyaan mereka dan sampai berhutang kiri kanan untuk mengobati penyakit tersebut. Akhirnya mereka hidup melarat dan sebagian jatuh sakit. Yang tadinya sakit juga akhirnya meninggal. Apakah keputusan mereka tersebut tepat?

Ekonom menyimpulkannya dengan menggunakan nilai kehidupan statistik (NKS).

8. Apa dan berapa nilai kehidupan statistik?

Ekonom sudah lama memperhitungkan hal ini. Angka yang luas digunakan di AS dalam asuransi kesehatan, baik swasta maupun pemerintah, biasanya $50 ribu per tahun. Ini kurang lebih rata-rata penghasilan seseorang per tahun. Dengan asumsi rentang usia produktif adalah 50 tahun (dari usia 15 sampai 65 tahun), ini berarti nilai kehidupan sebesar $2,5 juta.

Sekitar empat dekade lalu, Kip Viscusi, profesor ekonomi dari Vanderbilt University di Tennesse, AS, melakukan penelitian akan nilai statistik kehidupan. Dia menggunakan ide yang disebut nilai kehidupan statistik. Seberapa besar Anda membayar seseorang untuk mau berisiko mengambil pekerjaan yang bisa menghilangkan nyawanya. Secara kasar, seberapa besar Anda membayar seseorang untuk bersedia mati.

Baca Juga :   Berburu Cuan dari Impor Alat Tes Covid-19: Rakyat Buntung Siapa Untung?

Dengan menggunakan tingkat risiko kematian dalam dunia kerja, dia memperkirakan bahwa nilai kehidupan statistik di AS, yang dikonversi untuk nilai saat ini, kurang lebih $10 juta.

9. Berapa nilai kehidupan statistik di Indonesia?

Mengacu dengan angka di AS, berapa NKS di Indonesia? Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengkonversi angka di AS sesuai dengan tingkat pendapatan Indonesia. Pendekatan ini sah-sah saja sebab nilai kehidupan statistik di atas tidak lepas daripada faktor ekonomi.

Pada tahun 2019, pendapatan per kapita di AS lebih 12 kali lipat pendapatan per kapita Indonesia ($55.810 vs $4.450). Bila disesuaikan

dengan daya beli (purchasing power parity atau PPP), pendapatan per kapita di AS enam kali lipat Indonesia. Ambil jalan tengah, pendapatan per kapita di AS 9 kali lipat Indonesia. 

Dengan mengambil angka nilai kehidupan statistik dari Viscusi sebesar $10 juta, maka di Indonesia NKS mungkin sekitar $1,1 juta atau Rp 16 miliar. Ini pendekatan perhitungan saya. 

10. Lalu bagaimana kesimpulannya?

NKS setelah seseorang meralat atau sakit turun drastis. Bila NKS setelah hidup melarat dan sakit turun 50%, maka total NKS yang empat orang anggota keluarga tersebut menurun 30 miliar rupiah. Itu sudah lebih besar daripada NKS satu orang. Dengan asumsi tersebut, secara ekonomis, adalah lebih baik fokus pada kehidupan yang empat orang anggota keluarga lainnya.

11. Tetapi bukankah itu kebijakan kejam?

Bukan kebijakan tersebut yang kejam, tetapi realitas dunia yang penuh kelangkaan yang bertindak sebagai penentunya. Survival for the fittest bukan hanya terjadi di savanna di Afrika. Yang perlu dilakukan adalah usaha yang optimal mengobati yang sakit tetapi tanpa menyebabkan kehidupan empat anggota keluarga lainnya melarat dan sengsara, sehingga secara kolektif keluarga tersebut tidak menderita dari yang seharusnya.

Elwin Tobing

Profesor Ekonomi di AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.