Tinjau Kembali Kebijakan IPO Anak Usaha Pertamina

oleh

MARI kita menengok sejarah ke belakang, seperti kata Bung Karno dalam salah satu pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966 pernah mengatakan Jangan sekali-kali meninggalkan Sejarah (Jas Merah) Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.

Karenanya mari kita cermati sejarah Pertamina. Pertamina adalah perusahaan minyak dan gas bumi yang dimiliki Pemerintah Indonesia. Berdiri sejak 10 Desember 1957 dengan nama Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA). 

Pada tahun 1960 perusahaan ini berganti nama menjadi PN PERMINA. Pada Tahun 1961 Pemerintah juga mengambil saham Permindo-Shell dan dibentuklah PN PERTAMIN. Selanjutnya di tahun 1968 PN PERMINA merger dengan PN PERTAMIN menjadi PN PERTAMINA (Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Nasional).

Dengan bergulirnya UU No.8 Tahun 1971 sebutan perusahaan menjadi Pertamina yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Sebutan ini tetap dipakai setelah Pertamina berubah status hukumnya menjadi PT. Pertamina (Persero) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 

Sejak menjadi PT. Pertamina (Persero) tahun 2003 sampai sekarang Struktur Organisasi PT. Pertamina (Persero) beberapa kali mengalami perubahan.

Begitulah para pendahulu kita berjuang menjadikan pengelolaan energi berdaulat di tangan anak bangsa, agar kita semua dapat bercermin dan tidak melupakan sejarah.

Sebagai BUMN, Pertamina tunduk pada Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang bertujuan bukan hanya sekedar mengejar keuntungan dan memberikan sumbangan pada penerimaan negara namun BUMN adalah salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

Perubahan Struktur Organisasi yang signifikan terjadi pada Pertengahan Tahun 2020. Lewat Salinan Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020, tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina tertanggal 12 Juni 2020, pemerintah menetapkan struktur organisasi Direksi yang semula 11 orang menjadi 6 orang.

Sedangkan Direktorat Operasional yang sebelumnya ada di Pertamina masuk ke dalam beberapa subholding yang telah dibentuk, yaitu Subholding Upstream (PT. Pertamina Hulu Energi), Subholding Refinery & Petrochemical (PT. Kilang Pertamina Internasional), Subholding Commercial & Trading (PT. Pertamina Patra Niaga), Subholding Power & New and Renewable Energi (PT. Pertamina Power Indonesia), serta Shipping Company (PT. Pertamina International Shipping). 

Semua subholding tersebut akan menjalankan bisnis bersama dengan Subholding Gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah Pertamina melalui PT. Perusahaan Gas Negara Tbk sejak 2018.

Penetapan subholding tersebut tertuang dalam Surat Keputusan yang ditandatangani Dirut Pertamina, Nicke Widyawati pada tanggal 13 Juni 2020 dengan No.Kpts-18/C00000/2020-SO. Surat tersebut dikeluarkan pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang diadakan di Kementerian BUMN Jumat pagi (12/6/2020) di Jakarta.

Terbentuknya Holding Subholding dan Rencana akan dilakukannya IPO terhadap 5 Anak Usaha Inti Pertamina, apalagi 3 dari 5 Anak Usaha Inti Pertamina tersebut yakni PT. Pertamina Geothermal Energy, PT. Pertamina Hulu Energi, dan PT. Pertamina International Shipping adalah anak usaha yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga rencana ini akan menimbulkan beberapa kekhawatiran.

Pembentukan Sub Holding berpotensi mengarah kepada rencana pelepasan asset melalui IPO yang akan mengakibatkan tidak dapat dikontrolnya harga produk karena penentuan harga berpotensi akan diserahkan kepada mekanisme pasar. Sedikitnya ada 8 (delapan) kekhawatiran yang akan ditimbulkan jika Holding-Subholding ini direalisasikan, dengan dilakukannya IPO anak usaha Pertamina. 

Kekhawatiran yang dimaksud yakni:

Pertama, berpotensi melanggar UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf (c) dan (d), bahwa “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;” bunyi pasal 77 huruf (c). “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi,” bunyi pasal 77 huruf (d).

Kedua, besarnya potensi Pajak yang harus dibayarkan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 52/PMK.010/2017 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran atau pengambilalihan usaha.

Ketiga, transfer pricing antar subholding berpotensi menyebabkan HPP (Harga Pokok Produksi) BBM meningkat. Jika ini terjadi maka yang dirugikan adalah rakyat karena harus membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.

Keempat, potensi terjadinya Silo-silo antar subholding karena sudah menjadi entitas bisnis yang tersendiri dan mempunyai target kinerja masing-masing.

Kelima, terjadinya tumpang tindih bisnis antar Sub Holding yang memicu terjadinya persaingan yang tidak sehat misalnya Produk Petkim dari Kilang yang dijual langsung oleh SH R&P Vs Produk Petkim ex Import yang dilakukan SH C&T yang sama-sama akan dilepas di pasar domestic. 

Atau adanya tumpang tindih pengelolaan Depot BBM/LPG dan usaha Niaga antara SH C&T dan SH Shipping Co karena di masing-masing SH memiliki direktorat niaga, dan lain-lain.

Keenam, kemampuan subholding dalam mengemban beban penugasan BBM PSO. Karena masing-masing subholding ditarget kinerja masing-masing, maka akan memungkin setiap subholding hanya memikirkan mengejar keuntungan dibandingkan memikirkan kepentingan rakyat.

Ketujuh, hilangnya Privilege yang diberikan oleh pemerintah ketika subholding melakukan IPO.

Kedelapan, mengancam Ketahanan Energi Nasional dan Program Pemerataan Pembangunan (BBM 1 harga) tak berjalan.

FSPPB sesuai dengan visi dan misinya terus berjuang untuk menjaga kelangsungan bisnis Pertamina dan keadulatan energi nasional untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berbagai upaya telah kami lakukan sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di negeri ini. 

Dalam Perjanjian Kerja Bersama pasal 7 ayat (7) pun telah disepakati para pihak yang berbunyi: “Serikat Pekerja dan/atau FSPPB dapat memberikan sumbangan pemikiran yang tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial tetapi mencakup hal-hal yang lebih luas seperti memberikan kajian dan masukan untuk mempertahankan kelangsungan bisnis Perusahaan yang dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan Perusahaan.”

Perjuangan FSPPB dalam rangka mempertahankan bisnis perusahaan dan juga menegakkan kedaulatan energi nasional telah tercatat dengan tinta emas sepanjang perjalanan organisasi ini sejak berdiri di tahun 2003. Berbagai cara telah kita tempuh seperti upaya class action, unjuk rasa, siaran pers, melakukan edukasi kepada semua stakeholder termasuk permohonan JR ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Beberapa bentuk perjuangan yang telah dilakukan antara lain Menolak penjualan VLCC di tahun 2004, Merebut blok migas terminasi (WMO, Mahakam, Rokan dll), Menolak pengambilalihan PGE oleh PLN, Menyusun naskah RUU Migas termasuk Naskah Akademisnya, Berperan aktif sebagai fasilitator terbentuknya Komunitas Energi dalam

wadah Dewan Energi Mahasiswa sebagai Center of Excellent Energy, Judicial Review UU No 22 Tahun 2001, Permen ESDM No. 23 Tahun 2018, UU No. 31 Tahun 1999 dan lain-lain.

Dalam case Holding Subholding dan rencana IPO anak-anak Perusahaan Pertamina ini pun FSPPB dengan tegas menyatakan menolak unbundling dan privatisasi Pertamina. Kami telah melakukan berbagai upaya perjuangan baik secara litigasi maupun non litigasi. 

Pada bulan Juli 2020 FSPPB telah mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat, menggugat Menteri BUMN dan Dirut Pertamina untuk membatalkan unbundling Pertamina dengan bungkus Restrukturisasi Holding Subholding. 

FSPPB juga melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terkait UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 77 huruf c. dan d. yang meminta agar Majelis Hakim MK memutuskan bahwa yang tidak dapat diprivatisasi sebagaimana dimaksud pasal 77 adalah termasuk Anak-anak usaha BUMN yang menjalankan proses bisnis inti.

Sebagai penutup saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada DEM Indonesia wilayah Jawa Tengah yang telah menyelenggarakan webinar dengan tema ‘Tinjau Kembali Kebijakan IPO Anak Perusahaan Pertamina, Pertamina 100% Milik Rakyat”.

Semoga dari webinar ini kita dapat menarik benang merahnya dan mempertimbangkan kembali Holding-Subholding dan IPO anak usaha Pertamina ini. Marilah para stakeholder saat ini mampu untuk berpikir sejenak tentang cita-cita para pendiri bangsa ketika mendirikan Pertamina. 

Jangan sampai karena keserakahan segelintir orang yang memimpin negeri ini, menjadikannya lupa dan mengkhianati akan cita-cita para Founding Fathers yang telah mencetuskan konsep Pasal 33 UUD 1945.***

Bandung, 7 Agustus 2021 

Arie Gumilar

Presiden FSPPB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.