Meiji Restorasi Indonesia

oleh
Elwin Tobing

KITA masih sibuk dan kuatir dengan krisis Covid. Tidak berlebihan menyimpulkan bahwa agenda utama pra Covid mungkin sekarang menjadi agenda sekunder bahkan tersier. Cepat atau lambat, prioritas harus berubah kembali. Bila tidak, dalam jangka menengah dan panjang kita akan bisa stagnan.

Manusia adalah aset terbesar kita, tetapi sekaligus juga liabilitas terbesar kita. Tanpa mengubah liabilitas menjadi aset, kita akan sulit maju. Tidak ada pilihan lain, membangun Indonesia harus dimulai dari manusia kita.

Syukur, sebelum Covid, kita sudah mau serius membangun manusia Indonesia. Tujuan bagus meski sedikit terlambat.

Seperempat abad lalu, saya sempat menyuarakan bahwa hanya dengan membangun manusia Indonesia yang haus akan ilmu pengetahuan, kita dapat bersaing di abad 21. Tulisan tersebut kami kompilasi dalam sebuah buku di tahun 2000 dan berjudul “Pembangunan Manusia: Agenda yang Terlupakan.” Meski hidup dengan Covid sekarang ini, semoga agenda tersebut tidak akan terabaikan.

Mulai dari Budaya

Ada pengalaman unik. Di tahun 2013, beberapa karya ilmiah saya dipublikasikan di jurnal sedikit bereputasi. Saya kemudian menerima email dari beberapa mahasiswa dan dosen dari Cina dan India menanyakan kesempatan untuk melakukan penelitian bersama. Saya tidak kenal mereka, tetapi mereka proaktif. Menawarkan pengetahuan dan tenaganya. Dengan harapan menjadi co-author.

Saat yang sama, saya menawarkan tenaga dan pengetahuan saya praktis gratis kepada beberapa universitas di tanah air untuk melakukan penelitian bersama dengan dosen-dosen dan mahasiswa di Indonesia. Apa kata mereka? Kurang lebih seperti ini, “Maaf, kalau bawa uang kami baru mau.”

Kita masih cenderung memiliki mental pengemis uang. Pengemis pengetahuan masih bagus. Lebih bagus lagi, bangsa yang haus akan ilmu dan pengetahuan serta mau berkeringat dan membayar untuk mengejarnya.

Baca Juga :   Anies, Pemimpin Yang Dirindukan

Sekitar 150 tahun lalu Jepang mengalami gerakan Meiji Restorasi. Lima dekade lalu, Cina mengalami hal yang sama dengan gerakan Reformasi Pandangan (Outlook Reform) dari Deng Xiao Ping. Demikian juga dengan reformasi pembangunan di Korea Selatan di awal 70-an.

Apa kesamaan reformasi di ketiga negara tersebut? Mereka menekankan pentingnya membangun budaya yang haus akan ilmu pengetahuan dan mau berkeringat serta membayar untuk mengejarnya. Ke mana mereka mengejarnya? Amerika! Pada umumnya.

Masyarakat kita di Indonesia sering menganggap bahwa aset terbesar yang kita harus bawa dari Amerika adalah uang. Mereka keliru. Aset terbesar dari Amerika adalah pengetahuan. Cina mengerti itu dengan sempurna.

Mungkin kita terkesima dengan pembangunan Cina yang cepat, tetapi kita lupa bahwa mereka belajar dari Amerika! Mereka sangat ambisius mengejar dan menguasai pengetahuan dari Amerika. Bahkan sampai melakukan penguasaan IPTEK dari Amerika secara tidak legal.

Saat ini saja ada lebih dari 370 ribu mahasiswa Cina di Amerika dibanding hanya 8,3 ribu mahasiswa Indonesia. Kita masih kalah dengan Vietnam (24 ribu). Jumlah mahasiswa pasca sarjana kita di AS jauh lebih kecil lagi.

Ambisius IPTEK

Bila kita tidak melakukan gerakan reformasi serius ala Meiji Restorasi, saya kuatir kita akan tetap selangkah atau dua langkah di belakang. Kemajuan adalah produk budaya. Sayangnya paradigma ini seperti terabaikan atau dianggap inferior karena euforia teknologi informasi dan Industri 4.0.

Semua lini di tengah masyarakat dan negara kita harus mengedepankan paradigma budaya yang haus akan ilmu dan pengetahuan dan ambisi kuat untuk menguasainya dalam membangun bangsa. Dana tentu penting, tetapi salah menggunakan dana, hasilnya bisa tragis. Salah menggunakan paradigma dan mengalokasikan dana yang tepat, niscaya kita akan stagnan.

Baca Juga :   Taliban Rasul

Kemunduran bila menganggap kemajuan pada dasarnya produk keterampilan. Atau lebih buruk lagi, produk medsos.

Saya kuatir, budaya dan ambisi kuat akan penguasaan pengejaran dan penguasaan IPTEK ini bisa tenggelam di tengah pandemi Covid. Dari aspek pendidikan umum saja, bila sampai 2-3 tiga tahun pendidikan kita morat marit gara-gara Covid, kita bisa mundur atau tertinggal sedikitnya 1 atau 2 dekade. Karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus menjaga keseimbangan antara pendidikan yang serius dan penanganan Covid.

Negara maju seperti AS yang sudah memiliki infrastruktur dan fasilitas telekomunikasi yang sangat memadai untuk setiap pelajar. Tetapi baik pelajar maupun mahasiswa masih tetap kesulitan dengan pendidikan daring.

Sebagai pengajar di universitas di AS lebih dua dekade, saya sudah melihat bahwa pendidikan daring kurang lebih sama dengan online dating (kencan online). Semu. Kita tidak mau masa depan Indonesia di bangun di atas pengetahuan yang semu atau penguasaan IPTEK yang seolah-olah.

Membaca esai konstruktif tetapi sedikit panjang orang sudah malas. Mereka hanya mau membaca satu dua kalimat. Hidup kita banyak tersita membaca pesan-pesan di media sosial. Membaca buku menarik dan membuka wawasan sudah seperti tabu dan menganggap pemborosan waktu. Bagaimana bisa menguasai IPTEK?

Dunia medsos dan virtual bisa seperti busa. Kehidupan yang dibangun di atas busa tidak punya pondasi kuat. Bisa hilang dalam sekejab begitu saja.

Covid bukan jadi alasan membuat kita mengabaikan tujuan utama sebagai bangsa: membangun manusia Indonesia. Covid jangan membuat kita jadi bangsa yang risk averse, menghindar dari risiko. Pemenang adalah yang mau ambil risiko. Justru dalam era Covid kita harus semakin kerja dan belajar keras, termasuk dengan berbagai risiko yang terkandung dalam kehidupan.

Baca Juga :   Kedunguan di Sekitar Kita

Mengejar dan menguasai IPTEK. Lewat Meiji Restorasi Indonesia. Dan mau berkeringat dan membayarnya. Bukan gratis. Rumus lama dan baku yang sudah teruji di negara-negara tetangga.***

Elwin Tobing
Profesor Ekonomi di AS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.