Menyingkap Kuda Troya Belanda Sebagai Ancaman Martabat Kedaulatan Indonesia

oleh

PERNYATAAN Soekarno yang terkenal, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri,” mengingatkan akan ancaman internal yang bisa menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa.

Ternyata ungkapan Bung Karno terbukti, merujuk pada perang secara militer antara Belanda dengan Indonesia berakhir setelah Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1947. Tetapi perang non militer antara kerajaan Belanda dengan Indonesia, sampai detik ini terus belangsung, ditandai oleh sikap keras Belanda yang tidak pernah mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Belanda dengan licik, terus melakukan maneuver bawah tanah dan melibatkan oknum pejabat Indonesia, untuk merongrong kewibawaan kedaulatan Indonesia.

 

Paska agresi II militer Belanda yang berakhir melalui meja perundingan KMB, ternyata tidak mengakhiri nafsu dan dendam Belanda untuk menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalu operasi intelijen dan gerakan bawah tanah yang didalangi oleh Belanda.

Dalam buku Catatan Harian Letjen (Purn.) TB Simatupang yang ditulis di masa Perang Gerilya melawan agresi militer Belanda kedua antara tanggal 19 Desember 1948 hingga 10 Agustus 1949, kemudian buku tersebut diberi judul “Laporan dari Banaran”, TB Simatupang menulis bahwa pada waktu itu sudah ada penyusupan orang-orang Indonesia pro Belanda di pemerintah Indonesia. Mereka yang akan membantu Belanda dari dalam pemerintah Indonesia untuk menghancurkan Republik Indonesia.

Peristiwa Madiun (Madiun Affairs) pemberontakan PKI pada 19 September 1948, bukan didalangi oleh Uni Soviet, melainkan oleh Amerika Serikat dan Belanda, yang adalah bagian dari ABDACOM. Tokoh PKI Musso kembali dari Rusia ke Indonesia bulan Agustus 1948, dia mampir di Praha, Cekoslovakia, untuk bertemu dengan Suripno dan Sekjen Partai Komunis Belanda, Saul “Paul” de Groot.

Musso dan Suripno mendapat dana dari Paul de Groot. De Groot menginginkan, agar Partai Komunis Indonesia tetap menjalin hubungan baik dengan Belanda. Keterlibatan Belanda dalam pemberontakan PKI Madiun, diakui oleh Presiden Prabowo baru-baru ini.

 

Di era tahun 1950 hingga awal 60-an, banyak terungkap gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh mantan-mantan perwira Belanda atau KNIL, yang bekerjasama dengan warga negara Indonesia, baik pribumi, maupun keturunan Cina (mantan pasukan Po An Tui) dan keturunan Arab.

Syarif Abdul Hamid Alkadri, yang kemudian menjadi Sultan Hamid II di Kesultanan Pontianak, semula dia terlibat kasus “Kudeta APRA” (Angkatan Perang Ratu Adil) bersama Raymond Westerling tanggal 23 Januari 1950. Rencana kudeta APRA tersebut adalah untuk menggulingkan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil KMB.

Ternyata percobaan kudeta APRA tanggal 23 Januari 1950, terungkap bahwa rencana Kudeta APRA untuk menggulingkan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), didalangi oleh Pangeran Bernhard, suami Ratu Belanda Juliana. Tujuannya adalah, Pangeran Bernhard ingin menjadi Raja Muda (Viceroy) di Indonesia, yang mewakili Kerajaan Belanda.

 

Menjelang berakhirnya perang dingin tahun 1991, Belanda memprakarsai berdirinya Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang menaungi gerakan separatis dari berbagai negara, termasuk OPM, Fretilin, RMS dan GAM. Jelas UNPO yang bermarkas di Den Haag, sebagai agenda Belanda untuk memecah belah Indonesia.

Upaya Belanda untuk merongrong kedaulatan Indonesia dilakukan terstruktur, sistematik dan massif, seperti pembentukan opini negatif terhadap Indonesia di forum internasional, di antaranya pembentukan “Tribunal Internasional 1965” yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda tanggal 13 – 15 November 2015, melibatkan tokoh-tokoh Indonesia, yaitu Prof. DR. Todung M. Lubis dan Nursyahbani Katjasungkana, SH., mantan anggota DPR RI.

Putusan Tribunal Internasional, negara Indonesia didakwa telah melakukan genosida terhadap anggota PKI tahun 1965. Putusan tersebut disampaikan sebagai rekomendasi kepada PBB dan sempat berdampak terhadap citra Indonesia di for a Internasional.

 

Dibentuknya organisasi Komite Utang Kehormatan Belanda pada 5 Mei 2005, diketuai oleh Batara Hutagalung, ketua dewan kehormatan Jenderal Mutoyib mantan Kepala BIN dan ketua dewan penasehat Alm Laksdya Purn Wibisono, dalam rangka mendesak Belanda mengakui secara de jure kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945, sebagai wujud rekonsiliasi yang bermartabat (Reconciliation with dignity) antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda, untuk saling mengakui dan menghargai.

Tetapi dalam perjalanannya, untuk membela harkat dan martabat bangsa, menurut pengakuan Batara Hutagalung, ternyata KUKB dihadapkan oleh hambatan dan tantangan, dari internal pemerintah Indonesia, seperti jajaran Deplu dan oknum di BIN saat itu.

Fenomena hambatan yang dihadapi KUKB, dalam rangka memperjuangkan harkat martabat bangsa Indonesia, menjadi bukti “kuda troya” Belanda bukan sekedar isapan jempol, tapi sudah menyusup ke dalam inner circle kekuasaan negara.

Oleh sebab itu, Presiden Prabowo tidak lagi mentolerir, terhadap maneuver anasir Belanda yang sudah menyusup kedalam inner circle kekuasaan. KUKB saat ini sedang berjuang untuk menghadiahkan peringatan 80 tahun HUT RI, dengan kado pengakuan Belanda secara de jure atas kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Vital interest dalam hubungan diplomatik antar negara adalah kepentingan kedaulatan.***

 

Sri Radjasa MBA

Pemerhati Intelijen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.