Apakah Reformasi Hanya untuk Memasung TNI?

oleh

MENCERMATI pernyataan guru besar hukum tata negara Universitas Udayana I Dewa Gede Palguna soal spirit reformasi 1998, bukan sekedar mengakhiri peran dwi fungsi ABRI, melainkan juga pemisahan fungsi pertahanan negara yang menjadi ranah tentara dan domain keamanan yang menjadi tanggung jawab Polri.

Pernyataan tersebut terkait penangkapan bandar narkoba oleh Unit Intel Kodim Bima. Palguna juga mengatakan, kalau kedua fungsi tersebut dicampurbaurkan, sudah pasti bertentangan dengan semangat reformasi. Pertanyaannya adalah apakah reformasi hanya berlaku untuk TNI. Bukankah carut marut orde baru, meliputi seluruh stake holder penyelenggara negara.

 

Menjadi menarik setiap kali mencermati bahasan, tentang reformasi TNI, selalu diawali oleh sikap tendensius dan dendam politik masa lalu, seakan kehadiran TNI menjadi ancaman terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa bernegara.

Bahkan sepertinya TNI tidak punya kontribusi positif dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sehingga TNI harus “dipasung” melalui berbagai undang-undang sebagai rambu-rambu. Reformasi telah ditempatkan sebagai berhala baru yang sakral, sebagai tuntunan hidup bangsa Indonesia.

 

Kita harus berani jujur melihat realita potret bangsa ini, dalam koridor tatanan reformasi yang sudah berlangsung 27 tahun. Bukan terus menerus melayangkan tudingan kepada TNI sebagai ancaman terhadap reformasi dan membangun dikotomi sipil-militer sebagai upaya mempertahankan supremasi sipil.

Sementara dominasi kekuasaan sipil, memanfaatkan reformasi hanya sebagai kemasan politik, untuk membangun otoritarianisme sipil yang justru menciptakan ancaman terhadap stabilitas nasional, akibat tarik menarik kekuasaan negara oleh kekuatan politik besar, penggunaan hukum oleh kekuatan politik untuk memainkan politik sandera, perebutan sumber-sumber ekonomi, partai politik menjadi kelas menengah baru dalam strata politik nasional.

 

Kita telah terjebak oleh retorika reformasi yang mengusung jargon demokrasi dan HAM, tetapi realitanya demokrasi hanya berlaku lima tahun sekali, untuk rakyat dan kekuatan oposisi. Sementara kekuatan politik penguasa mampu mengangkangi konstitusi demi melanggengkan kekuasaan.

Negara belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan fungsi melindungi, mengatur dan menciptakan keadilan. Reformasi justru menyajikan lingkungan tanpa jaminan keadilan dan keamanan, tetapi yang terjadi adalah penggunaan hukum sebagai alat untuk membangun loyalitas.

Munculnya polisi sebagai super body, dengan kewenangan yang mengangkangi UUD 45, DPR alih-alih mengemban check and balance, justru asik melegitimasi maneuver oligarki, korupsi tidak saja menjadi pekerjaan, tapi sudah menjadi ibadah fardu ain.

Sudah saatnya bangsa ini, kembali berpegang pada identitas nasional, tidak menjadikan setiap orde politik mempertajam perpecahan, superioritas harus didasarkan pada nilai nasionalisme.

Dikotomi sipil-militer adalah pendekatan yang dikampanyekan oleh musuh negara. Jangan biarkan bangsa ini, menjadi bangsa yang terbelenggu oleh dendam masa lalu, bangsa yang carut marut, karena tidak pernah berhenti saling menikam sesama anak bangsa.***

Sri Radjasa MBA

Pemerhati Intelijen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.