Praktek Sistem Kerja Alih Daya yang Melanggar Hak Asasi Manusia

oleh

ISTILAH outsourcing muncul sejak lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 (UUK 13/2003) tentang Ketenagakerjaan. Sebelum UU tersebut diterbitkan setiap pekerja diberikan kesempatan masa percobaan selama tiga bulan, setelah itu diangkat menjadi Pekerja Tetap, atau pekerja dikontrak langsung oleh pemberi kerja atau perusahaan inti, setelah satu sampai tiga tahun diangkat menjadi Pekerja atau Buruh tetap.

Sejak lahirnya UUK 13 Tahun 2003, istilah outsorcing dalam UUK 13 Tahun 2003, outsourcing adalah mengalihkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain dan pekerjaan dengan sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) tergantung sifat dan jenis pekerjaannya, maka UUK 13 Tahun 2003 mengatur hanya pekerjaan penunjang saja yang boleh dialih dayakan, bukan pekerjaan inti atau core bisnis.

Diaturlah dalam UUK 13 Tahun 2003 tersebut hanya lima jenis pekerjaan saja yang bisa dialihdayakan, yaitu Security, Cleaning Service, Cetering, Driver dan Tambang. Aturan yang mengatur secara detail tentang sistem kerja kontrak dan outsourcing terdapat dalam pasal 59, 64, 65 dan 66 UUK 13 Tahun 2003.

Namun prakteknya masih banyak jenis pekerjaan di luar lima jenis pekerjaan tersebut di atas dibuat outsourcing, dan ajaibnya pelanggaran outsourcing dilakukan juga oleh perusahaan sekelas BUMN.

Kemudian terbit undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja. Dalam undang-undang tersebut istilah outsourching diganti menjadi Alih Daya. Dalam undang-undang tersebut sudah tidak lagi membatasi lima jenis pekerjaan saja yang boleh dialihdayakan (outsorching) seperti terdapat dalam UUK 13 Tahun 2003, tapi jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan atau outsourcing diperluas, hampir seluruh jenis pekerjaan bisa outsourcing.

Bukan hanya itu, dalam UUK 13 Tahun 2003 kontrak kerja dibatasi dua kali dalam UU Omnibuslaw tidak ada lagi pembatasan kontrak. Apa artinya? Alih Daya atau Outsoucing dalam UU Omnibuslaw sudah sangat parah karena tidak ada batasan pekerjaan dan batasan kontrak. Dengan kata lain kontrak bisa seumur hidup.

Dalam prateknya pelaksanaan UU Omnibuslaw Cipta Kerja untuk Alih Daya/outsourcing ini sangat liar dan ugal-ugalan. Banyak diketemukan praktek Alih Daya/outsourcing yang menyimpang dari peraturan perundangan ketenagakerjaan seperti berikut:

a.  Pekerja/ Buruh diminta untuk membayar sejumlah uang rata-rata kurang lebih Rp 10 juta sampai Rp 25 juta demi bisa diterima menjadi pekerja di perusahaan outsourcing tersebut. Diduga uang tersebut dibayarkan ke Direksi dan Manager di perusahaan pemberi kerja.

b. Praktek-praktek lain adalah pekerja/ buruh yang bekerja di perusahaan pemberi kerja menjabat menjadi salah satu Direktur di Perusahaan Outsourcing.

c. Praktek outsourcing yang menyimpang lainnya adalah Direktur atau General Manager di perusahaan pemberi kerja memiliki perusahaan outsourcing dan pada akhirnya pekerjaan yang ada diberikan kepada perusahaan yang telah dibentuk oleh mereka.

d. Praktek outsourcing yang lainnya adalah melibatkan Ormas, oknum TNI, Polri, RT/RW, Lurah, Karang Taruna. Bahkan ada oknum Pimpinan Serikat Pekerja memiliki Perusahaan Outsourcing.

e. Ijin pendirian outsourcing tidak sesuai aturan yang ada, seperti contohnya ada koperasi yang ijin pendiriannya simpan pinjam dan bukan berbentuk PT tapi pada prakteknya malah menjadi bisnis pengerah tenaga kerja.

Lalu bagaimana perlindungan dan hak-haknya? Dengan praktek-praktek yang sekarang penuh dengan penyimpangan maka yang terjadi adalah sebagai berikut:

– Upah dibawah UMP,

– Tidak ada jaminan sosial dalam hal ini Pekerja/Buruh tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan,

– Kebebasan berserikat tidak ada sebagai sarana untuk memperjuangkan haknya sesuai dengan peraturan perundangan,

– Sangat mudah di PHK dan tidak diberikan uang pesangon sehingga tidak ada masa depan,

– Tidak ada jenjang karir di perusahaan,

– Tidak mendapatkan Pelatihan di tempat kerjanya (Upskiling, Reskiling),

– Tidak mendapatkan Perindungan yang memadai perihal Kesehatan, Keselamatan Kerja  (K3),

– Tidak ada perlindungan hukum apabila mengalami diskriminasi di tempat kerja, kekerasan seksual, pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal, mutasi yang tidak berkeadilan, jam kerja yang melebihi peraturan perundangan dan tidak diberikan uang lembur,

– Tidak mendapatkan THR dan tidak ada insentif/bonus,

– Gaji tidak dibayarkan tepat waktu,

– Kontrak kerja yang tidak transparan dan tidak diberikan kepada Pekerja/Buruh outsourcing

Atas Praktek Penyimpangan ketenagakerjaan pada sistem Alih Daya/Outsourching seperti kondisi di atas sudah pantas kalau Oursourcing layak disebut perbudakan moderen  dan jika kondisinya seperti itu maka akan menghilangkan masa depan Pekerja/Buruh.

Namun di sisi lain saya juga menyampaikan tidak dipungkiri ada Perusahaan Alih Daya/outsourcing yang mempraktikkan sistem kerja Alih Daya/outsourcing sesuai dengan jenis pekerjaan yang telah ditentukan dalam UU Nomor 13 tahun 2003 yaitu bergerak di jenis pekerjaan Cleaning Service dan Security.

Perusahan ini menerapkan peraturan perundangan dengan baik dengan memperhatikan hak-hak pekerja/buruhnya antara lain memberikan upah yang layak, jaminan sosial yang baik, menjamin kebebasan berserikat, pelatihan yang dibutuhkan dalam pekerjaannya dan semuanya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.***

Mirah Sumirat SE

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.