JAKARTA – Direktur Utama PT Pertamina Energy Terminal (PET), Bayu Prostiyono yang merupakan anak usaha PT Pertamina Internasional Shipping (PIS) mengklaim bahwa perusahaan yang dipimpinnya telah mencapai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 33,06% dalam pengelolaan terminal energi perusahaan.
Faktanya, untuk proyek Pembangunan terminal LPG Refrigerated Tuban Tahap II diduga menggunakan matrial produk impor meskipun sudah lama bisa diproduksi di dalam negeri. Kontraktor EPC proyek ini adalah KSO PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (PT Wika) dan Japan Gas Corporation Indonesia (JGCI).
Belakangan JGCI disebut-sebut mundur karena perubahan kesepakatan bisnis dengan PT Wika. Dari informasi yang dihimpun Indonesiawatch.id, ditemukan bahwa kontraktor EPC PT Wika menggunakan beberapa komponen yang berasal dari luar negeri atau impor.
Padahal barang produk dalam negeri tersebut masuk ke dalam Approved Brand List (ABL), semacam daftar merek yang boleh digunakan dalam proyek yang sudah disusun PT PET. Sebaliknya, PT PET terkesan membiarkan kontraktor EPC yang menolak produsen dalam negeri yang ingin berkontribusi dalam Pembangunan Terminan LPG Tuban.
Kepada indonesiawatch.id, salah satu produsen yang jadi korban penolakan PT PET mengatakan bahwa telah terjadi dugaan ketidakpatuhan PT Wika terhadap aturan TKDN. Setali tiga uang PT PET membiarkannya.
Produk dalam negeri dari produsen tersebut ditolak untuk bisa digunakan. Sementara produk dalam negeri tersebut sudah lama digunakan untuk proyek-proyek lain sejenis di BUMN dan KKKS.
Padahal berdasarkan pasal 85 dan pasal 86 Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, disebutkan bahwa untuk pemberdayaan industri dalam negeri, Pemerintah meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
Lalu di pasal 57 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, BUMN wajib menggunakan produk dalam negeri. Di Pasal 58 dipertegas bahwa, kewajiban penggunaan produk dalam negeri dilakukan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan barang maupun jasa.
Aturan lain yaitu Inpres No. 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri & Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa produk dalam negeri yang tersedia di UMKM, Koperasi dan industri kecil wajib digunakan sejak tahap perencanaan. Termasuk terdaftar di ABL pengadaan barang maupun jasa proyek-proyek grup PT Pertamina.
Bagi yang melanggar aturan TKDN, dapat dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, dan/atau pemberhentian dari jabatan pengadaan barang/jasa.
Menurut Anggota Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (PPPDN) Willem Siahaya, penggunaan produk dalam negeri harus dilakukan sejak tahapan perencanaan kebutuhan sebuah proyek.
Artinya, kata Willem, sejak perencanaan kebutuhan barang dan jasa, produk dalam negeri harus sudah dimasukkan. “Waktu disusun kebutuhan barang, sudah harus lihat, apa-apa yang sudah diproduksi di dalam negeri, itulah yang dipakai,” katanya kepada Indonesiawatch.id, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, selama ini produk dalam negeri sering alpa dalam perencanaan kebutuhan. “Selama ini kan pura-pura ngak tahu. Katanya nggak pernah dilaporkan. Kayak gitu-gitu. Sehingga masuklah produk yang impor-impor,” ujar Willem.
Di samping itu, berdasarkan temuan Willem, seringkali pihak kontraktor memberikan persyaratan terlalu tinggi bagi produsen dalam negeri. Pasalnya, penerapan spesifikasi yang terlalu tinggi dapat membuat program penggunaan produk dalam negeri jadi terhambat.
Akibatnya, produsen dalam negeri tidak bisa masuk ke proyek-proyek minyak dan gas (Migas). “Ujung-ujungnya malah meningkatkan impor, ini harus menjadi perhatian Menteri BUMN dan Dirut Pertamina group” ujarnya.
Willem menghimbau agar spesifikasi yang dipersyaratkan para kontraktor dalam pengadaan barang dan jasa di proyek sektor Migas tidak perlu berlebihan. “Jadi istilah saya itu, spesifikasinya itu, kualitasnya itu, nggak perlu berlebihan. Cukup sesuai dengan kebutuhan saja,” katanya.
Indonesiawatch.id mencoba mengkonfirmasi persoalan produk impor yang digunakan di Pembangunan terminal LPG Tuban ke Dirut PT PET, Bayu. Selain itu, redaksi juga mencoba menanyakan nama lembaga independen yang digunakan untuk menghitung TKDN tersebut.
Bayu tidak menjawab pertanyaan wawancara dan mengalihkan ke pihak stafnya PT PET. Sayangnya ketika dikonfirmasi, stafnya PT PET juga bungkam hingga berita ini ditayangkan.
Mengingat sebelumnya, Dirut PIS Yoki Firnandi juga melakukan hal yang sama dengan melimpahkan pertanyaan redaksi ke Dirut PET, Bayu Pristiyono, tetap saja ngambang jawabannya.
Sehingga timbul pertanyaan apa begini cara GCG dan Core Values Akhlak kedua BUMN ini dalam menjalankan perintah UU dan aturan turunannya terhadap pelaksanaan kegiatannya.
Sebelumnya, Bayu mengklaim bahwa nilai TKDN PT PET lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemerintah melalui PP Nomor 29 Tahun 2018 dan diratifikasi oleh Pertamina Grup.
“Kami sebagai bagian dari grup telah menerapkan aturan TKDN tersebut. Serapan TKDN di PET mencapai 33,06% untuk tahun 2023, telah memenuhi target TKDN sebesar 30% yang ditetapkan oleh pemerintah,” kata Bayu dalam keterangan resminya, Jumat (8/11/2024).
Bahkan untuk pembangunan Terminal LPG Refrigerated Tuban, Bayu mengklaim, telah mensyaratkan TKDN sebesar 33,23%, lebih tinggi dari yang ditetapkan Pemerintah dan Pertamina Grup.(*)