JAKARTA – Politik sandera adalah realitas politik yang sedang digulirkan untuk menggerus lawan politik, dalam rangka memenangkan pertarungan politik, demi suksesi kekuasaan. Jika menelisik praktek politik sandera, nampak sekali sang aktor politik mengadopsi kitab The Prince, buku panduan para tiran dan diktator untuk menjalankan kekuasaannya tanpa etika moral, penuh kemunafikan, kebohongan dan kelicikan.
Demikian diutarakan Pengamat Intelijen Sri Radjasa MBA, Rabu (14/8/2024) pagi.
“Politik sandera merefleksikan halalkan segala cara, termasuk tidak pertimbangkan kerugian terhadap nilai demokrasi dan aspek penegakan hukum. Politik sandera juga sama halnya dengan pembiaran seorang pejabat melakukan korupsi, kemudian disandera untuk kepentingan politik penguasa. Artinya ada ongkos politik yang digunakan oleh sang aktor utama, menggunakan uang negara yang telah dikorupsi oleh pejabat korban politik sandera.
Menurut Sri Radjasa, fenomena menarik yang perlu disikapi bersama, tentang dinamika politik nasional yang semakin cenderung mengedepankan nilai kekuasaan, tanpa perlu mempertimbangkan legitimasi moral. Sehingga kerap kali kita dipertontonkan lelucon inkonstitusional yang mendapat legitimasi kekuasaan.
“Penyelenggaraan Pemilu 2024 merupakan potret realitas, dimana pertimbangan moralitas, etika bahkan hukum, telah diabaikan sebagai instrumen demokrasi, semata-mata demi melanggengkan kekuasaan. Akumulasi dari praktek politik immoral dan inskonstitusional, telah menciptakan melemahnya kepercayaan rakyat kepada kekuasaan dan memperburuk krisis politik,” ungkap Sri Radjasa.
Di tengah ketidak pastian nasib masa depan bangsa ini, lanjut Sri Radjasa, akibat lemahnya komitmen para pemangku kebijakan di semua strata kekuasaan terhadap kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, kini rakyat disajikan akrobatik politik, mengadopsi konsep kekuasaan menurut Machiavelli seperti yang ditulisnya dalam buku The Princes.
“Tidak ada lagi rambu-rambu hukum, etika moral dan budi pekerti, penguasa telah menyiapkan infrastruktur kekuasaan, untuk menyongsong estapet tampuk kekuasaan yang akan diemban oleh kroni dan keluarganya. Sudah saatnya rakyat mengambil peran konstruktif, untuk menghadapi dinamika politik yang cenderung liar, karena diam bukan lagi emas, tapi bisa jadi bagian dari kerusakan yang sedang berlangsung atau penghianat,” pungkas Sri Radjasa.(*)