JAKARTA – Mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Karen Agustiawan, Jumat (12/1/2024), telah menyelesaikan pemeriksaan kermpat oleh Penyidik KPK. Dalam keterangan tertulis kepada media, Karen menceritakan, Penyidik mengajukan 13 pertanyaan.
“Setelah ini saya berharap penyidik dapat segera merampungkan penyidikannya. Hal ini karena saya sudah empat bulan menjadi tahanan. Masa penahanan saya akan berakhir empat hari lagi, yakni 16 Januari 2024,” ungkap Karen.
Lebih lanjut Karen mengutarakan, meskipun KPK telah salah menuduhnya (error in persona), ia tidak akan merasa lelah-lelahnya mengingatkan kembali bahwa Perjanjian Jual Beli LNG dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat pada tahun 2013 dan 2014 dengan Sales Purchase Agreement (SPA) tahun 2013 dan tahun 2014 adalah aksi korporasi Pertamina sebagai bentuk pelaksanaan perintah jabatan dari Presiden, Wakil Presiden, UKP4, Menteri ESDM dan Menteri BUMN kepadanya selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero).
“SPA 2013 dan 1014 juga adalah sebuah aksi Korporasi Pertamina yang sah, karena telah disetujui oleh seluruh Direksi Pertamina secara Kolektif Kolegial, yang melibatkan semua fungsi-fungsi, baik legal, teknis dan komersial yang ada di Pertamina sesuai dengan organisasi dan tupoksi masing-masing (completed staff work),” terang Karen.
Dijelaskan Karen, pada saat ini SPA yang berlaku adalah SPA 2015, yaitu SPA yang ditandatangani setelah ia tidak menjabat lagi di Pertamina.
“Sebagaimana diketahui, bahwa sejak tanggal 1 Oktober 2014 saya sudah mengundurkan diri dari jabatan Direktur Utama Pertamina,” ungkap Karen.
Karen menegaskan, di dalam SPA 2015 banyak sekali yang diubah, dihilangkan dan ditambahkan pasal-pasal kontrak baru yang seluruhnya tidak ia ketahui dan tidak ia berikan persetujuan karena memang dia sudah tidak di Pertamina lagi.
“Contoh ketidakberlakuan SPA 2013 dan 2014 juga terlihat di dalam Program pengiriman tahunan (Annual Delivery Program atau ADP) CCL tahun 2019, 2020 dan 2021. Ketiganya mengacu kepada SPA 2015, dan bukan SPA 2013 dan 2014. ketidakberlakuan SPA 2013 dan 2014 juga terlihat di dalam Kontrak penjualan kargo CCL, misalnya dengan PPT ETS, juga mengacu ke SPA 2015 dan bukan SPA 2013 dan 2014. Selain itu, salah satu Certificate of LNG Transfer, yaitu 1 Juli 2019, menunjukkan bahwa kontrak yang menjadi dasar pengiriman volume adalah SPA 2015 dan bukan SPA 2013 dan 2014,” beber Karen lagi.
Sementara itu, mengenai keuntungan, menurut Karen, sudah ada saksi pada sidang Praperadilan dan bukti yang menyatakan bahwa total nilai profit Pertamina dari Niaga Portofolio LNG CCL per 31 Juli 2023 sudah mencapai USD 88,87 Juta, atau sekitar Rp 1,382 Triliun (Kurs: USD1 = Rp15.550).
“Hari ini saya juga menyampaikan kepada Penyidik KPK bahwa, per Desember 2023, Pengadaan LNG CCL telah menghasilkan keuntungan bagi Pertamina sebesar USD91.617.941 atau sekitar Rp1,425 Triliun. Jadi, tidak ada kerugian sebagaimana dituduhkan kepada saya oleh KPK, yang ada justru malah keuntungan!,” tegas Karen.
Meskipun pada tahun 2020 dan 2021 sempat negatif, lanjut Karen, sekali lagi ditegaskannya, sebagaimana telah ia sampaikan pada press conference di Gedung KPK saat dia akan ditahan pada 19 September 2023, seharusnya kerugian ini tidak terjadi jika kargo LNG CCL dikelola dengan piawai.
“Validity offer dari Trafigura yang pada saat itu hanya berlaku tiga hari mulai 5 Oktober 2018 sampai 8 Oktober 2018 tidak direspon dengan baik. Sehingga, kerjasama selama tiga tahun, periode 2020-2022, sebanyak 5 kargo per tahun dengan harga yang lebih mahal sekitar USD61 cents/MMBtu, tidak terlaksana. Hal ini diperburuk dengan terjadinya Pandemic Covid-19, yang mengakibatkan harga komoditi dunia anjlok,” pungkas Karen.(*)