Oversupply LNG dan Kerugian Negara

oleh

DALAM teori hukum keuangan publik, oversupply dalam produk barang dan jasa tidak dapat secara nyata dan pasti dinilai dan dihitung sebagai kerugian karena didasarkan pada mekanisme pasar yang bersifat fluktuatif dan memperhitungkan daya saing yang terbuka. Kondisi ini yang menyebabkan oversupply lebih tepat dikatagorikan sebagai risiko, daripada suatu kerugian.

Kerugian Negara

Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) yang terjadi pada PT Pertamina (Persero) pada 2009-2014, dinyatakan terdapat kerugian negara yang diduga karena tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.

Tolak ukur oversupply sebagai dasar penilaian adanya kerugian negara secara teoritis hukum keuangan publik merupakan paradoksal karena dalam mekanisme pasar yang dianut perusahan cenderung penuh ketidakpastian, sehingga terlalu prematur dan rumit dikatagorikan sebagai kerugian perseroan, apalagi kerugian negara.

Hal ini disebabkan kerugian negara dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1/2004 harus memiliki sifat yang nyata dan pasti, yang direfleksikan dalam dua bentuk, yaitu nilai buku atau pengakuan laporan keuangan. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan LNG yang terjadi pada PT Pertamina (Persero) pada 2009-2014, nilai buku yang dicatat dalam tahun laporan perusahaan 2009-2014 tidak ada pengakuan kerugian, tetapi justru terjadi pada tahun setelahnya.

Nilai Nyata yang Wajar

​bentuk kedua adalah nilai nyata yang wajar yang dinilai berdasarkan perbandingan dengan transaksi yang terjadi pada perusahaan yang sama dan kondisi yang sama, apakah dianggap sebagai kerugian atau risiko. Hal ini perlu jelas karena kewajaran penilaian kerugian atas oversupply tidak sederhana, karena menyangkut teknis macro dan micro-policy, yang harus didalami expertis dalam bidang barang atau jasa yang terjadi oversupply.

Baca Juga :   Rezim Jokowi Sudah Jatuh Secara Moral dan De Facto, Tidak Perlu Lagi Pemilu Tetapi Pemerintahan Transisi

Di beberapa negara, oversupply tidak dapat dikatagorikan sebagai kerugian, apalagi kerugian negara, karena state budget negara tidak menjangkau kebijakan korporasi, sehingga ketika dikatagorikan sebagai kerugian negara, berarti APBN negara tersebut menunjukkan kinerja keuangan yang sama. Akan tetapi, APBN pada 2009-2014 di Indonesia tidak mengalami kinerja keuangan yang buruk, karena pertumbuhan ekonomi dan permintaan pasar atas energi masih dapat dikendalikan.

Dua bentuk refleksionalitas kerugian atas oversupply tersebut baik dari nilai buku dan nilai wajar yang nyata dalam kasus kasus  dugaan korupsi pengadaan LNG yang terjadi pada PT Pertamina (Persero) pada 2009-2014 belum terlihat jelas. Apalagi pembuktiannya hanya didasarkan pada pernyataan kantor akuntan publik yang belum dapat dibuktikan pertanggungjawabannya dalam mekanisme korporasi menurut Pasal 138 UUPT.

Kehati-hatian dalam Penilaian Kerugian Negara

Di beberapa negara maju, penilaian kerugian negara harus dilakukan badan negara yang mempunyai kewenangan dan tidak dapat disimpulkan secara prematur dalam suatu simpulan di luar organisasi publik negara. Lazimnya, sebelum sampai pada simpulan kerugian negara, diidentifikasi terlebih dahulu sebagai risiko (risk), yang kemudian dilanjutkan pemeriksaannya secara investigatif oleh badan negara yang berwenang.

Penilaian kerugian negara yang prudent selalu didasarkan pada prinsip keterbukaan mengenai alas dokumen yang digunakan sebagai dasar adalah laporan keuangan yang relevan, andal, dan valid dengan menilai adanya tidaknya pengakuan terhadap kerugian atau sebagai risiko yang menimbulkan biaya, serta dilakukan asersi menyeluruh yang tidak hanya sepihak dilakukan penyidik, tetapi juga melibatkan pihak yang diduga dalam kasuis dengan izin pengadilan melakukan pemeriksaan bersama.

Selain itu diterapkan prinsip akuntabilitas yang menunjukkan ketidakberpihakan siapapun dalam kasus tersebut untuk sampai pada penentuan kekurangan yang terjadi lebih sebagai kerugian atau risiko. Kondisi ini harus dipenuhi karena prinsip pemeriksaan adalah objektivitas.

Baca Juga :   Skandal Migor Penyengsara Rakyat (1): Usung Hak Angket CPO dan Migor DPR Segera!

Jika kedua prinsip tersebut dibuktikan dalam pemeriksaan perseroan menurut Pasal 138 UUPT, identifikasi kerugian perseroan atau kerugian negara sudah dapat memenuhi prinsip kehati-hatian. 

Akan tetapi, jika belum dilaksanakan dengan alasan subyektif hukum, berarti upaya penegakan hukum masih dalam taraf pembelajaran yang merupakan tantangan bagi konsep negara hukum Indonesia.

Pembenahan

​Dalam menangani kasus dugaan korupsi pengadaan LNG yang terjadi pada PT Pertamina (Persero) pada 2009-2014, pembenahan pemeriksaan harus diperbaiki dengan melakukan pemeriksaan perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 138 UUPT. Hal demikian untuk membuktikan secara nyata dan pasti, transaksi yang terjadi merupakan kerugian atau risiko.

​Pembenahan kedua adalah oversupply sebagai titik tolak kasus menimbulkan paradoksal karena sifat yang nyata dan pasti dalam kerugian negara tidak dapat dihitung pada kondisi yang bergantung pada mekanisme pasar. Hal ini jelas sebagai akibat ketidakpahaman makna kerugian dan risiko, yang seharusnya merupakan inti konsep penegakan hukum pidana di Indonesia.***

Dian Puji Nugraha Simatupang

Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan FHUI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.