TIDAK terserapnya gas di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) pada 2009-2014 sebagai kasus korupsi kembali menunjukkan konservatisme dalam memahami korporasi negara yang lebih dikatagorikan sebagai instansi negara dibandingkan perusahaan. Konservatisme ini tidak hanya mengaburkan makna “perusahaan”, tetapi meneguhkan hukum pidana sebagai panglima dalam sistem hukum di Indonesia.
Paradoksal Korporasi Negara
Sejak Demokrasi Terpimpin, korporasi negara lebih diatur sebagai instansi pemerintahan negara dibandingkan sebagai perusahaan. Kata “Perusahaan” bagi badan usaha milik negara lebih merupakan kosmetika karena penguasaan terhadapnya lebih bersifat publik negara dibandingkan privat dengan karakteristik khusus negara sebagai pemegang saham.
Pemahaman konservatif ini terus menerus diturunkan sebagai dogma hukum bagi sebagian besar di Indonesia, sehingga menimbulkan paradoksal mengenai mungkinkan negara sebagai instansi pemerintahan melakukan kegiatan bisnis, padahal kedudukan negara dalam korporasi negara adalah sebatas pada pemegang saham atau modal.
Paradoksal korporasi negara sebagai keuangan negara semakin mengukuhkan dogma hukum tersebut, sehingga seakan-akan negara dapat mengendalikan bisnisnya dengan cara instansi negara dan cara korporasi negara, sehingga muncul patron dwimuka negara yang bias memahami apakah ketika negara mendirikan korporasi negara artinya penyelenggara negaranya juga melakukan kegiatan bisnis?
Paradoksal Kerugian Korporasi Negara
Keruwetan dalam korporasi negara adalah ketika kegiatan usaha korporasi negara yang merugi menjadi dikatagorikan sebagai kerugian negara padahal modal dalam suatu korporasi telah dipisahkan dalam konsep inbreng. Dalam teori hukum, adanya tindakan inbreng menyebabkan pengalihan kepemilikan, tata kelola, dan risiko, sehingga batas kerugian adalah pada nilai saham yang tertanam, dan bukan pada nilai sumber keuangan negara.
Silsilah aliran keuangan negara yang memperluas sampai keuangan apapun asalkan bersumber dari APBN menyebabkan semua uang apapun yang dipisahkan atau tidak dari APBN menjadi keuangan dan jika rugi menjadi kerugian negara, tanpa memahami makna inbreng dalam hak dan kewajiban keuangan.
Perluasan keuangan negara sebagai silsilah aliran merepresentasikan konservatisme yang paling aneh dalam teori hukum keuangan publik modern.
Dogma Otoritatif Kerugian Negara
Kasus yang mendera PT Pertamina (Persero) dalam oversupply LNG yang dikatagorikan kerugian negara menunjukkan silsilah aliran keuangan negara memang telah menjadi dogma yang dipercaya secara otoritatif oleh pihak yang berkuasa. Akibatnya, sebagai suatu dogma tidak ada ruang diskusi akademik atau ruang pemikiran dalam memahaminya, karena tidak membuka adanya rasionalitas atas fakta dan nilai, tetapi lebih berpegang pada nilai otoritatif.
Artinya, badan negara menyatakan dugaan kerugian dalam korporasi negara dianggap sebagai kerugian negara, pernyataan itu merupakan representasi dogma, karena cenderung lahir dari nilai yang otoritatif dan harus sudah dianggap sebagai kebenaran.
Dalam kasus oversupply ini, ruang analisis dan kajian etis menjadi sulit dipenuhi karena nilai otoritatif lebih mendominasi, sehingga ketika pun berharap pada ruang pengadilan untuk membuka diskusi analisis etis, alih-alih sama karena cenderung permisif pada nilai normatif dan dogma otoritatif kembali.
Mengingat keuangan dan kerugian negara di Indonesia sudah menjadi dogma yang otoritatif dan tidak membuka ruang nilai etis atas diskusi di dalamnya, penilaian dan penghitungannya menjadi juga tidak memiliki kepastian, apakah dilakukan badan yang berwenang, atau badan lainnya asalkan punya kemampuan. Padahal kerugian negara bukan soal kemampuan, yang utama mempunyai kewenangan karena memiliki nilai etis publik.
Dalam kasus kerugian negara dalam korporasi negara, kecenderungan sistem hukum publik dan privat menjadi nilai yang hampa, karena secara otoritatif korporasi negara adalah keuangan negara, dan itu dogma yang tidak dapat membuka ruang etis untuk menyatakannya sebagai badan hukum perdata.
Akibatnya, korporasi negara di Indonesia maupun silsilah keturunan korporasi dengan segala bentuknya merupakan keuangan negara dalam dogma yang otoritatif tersebut., sehingga ruang diskusi etis terhadap keuangan negara hanya APBN saja di Indonesia tidak hanya merupakan dosa, tetapi juga tidak rasional.
Oleh sebab itu, semakin banyaknya kasus yang muncul dan menjerat mantan direksi korporasi negara di Indonesia tidak terlalu mengejutkan karena kasus tersebut merupakan peristiwa yang terjadi karena konsep dogmatis yang otoritati dalam memahami keuangan negara. Sehingga kurang atas nilai etis yang progresifnya, karena penegakan hukumnya lebih memandang hukum sebagai kepercayaan pragmatis, dan bukan sebagai sistem nilai.***
Dian Puji Nugraha Simatupang
Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan FHUI