MEDAN, CERINEWS.ID – Pakar Energi Terbarukan Riza Mutyara mengaku tak habis pikir atas pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia soal rencana pemerintah mengakuisisi Street Scooter, sebuah perusahaan mobil listrik milik Deutsche Post DHL Group, Jerman.
“Kacau banget ini menteri. Tidak paham EV (electric vihicle,red) dan IC (internal combustion,red) sebagai penggerak kenderaan untuk bisa jalan. Baterai dan kenderaan itu dua hal yang berbeda,” ungkap Riza yang mengenyam pendidikan di Jerman sejak tahun 1969 hingga tahun 1979 itu.
Dilansir sindonews.com 2 Desember 2021 lalu, Bahlil menyatakan rencana ini telah melalui proses kajian mendalam oleh pemerintah, sehingga dipastikan tidak akan merugikan negara.
Bahlil berdalih, ada dua opsi, membangun mobil listrik sendiri atau akuisisi yang sudah punya. “Kalau bangun sendiri saya melihatnya itu masih butuh waktu. Maka opsinya adalah akuisisi. Akuisisi sesuatu yang tidak diharamkan selama business to businessnya masuk dan transparan,” kata Bahlil.
Terkait pernyataan Bahlil itu, Riza menjelaskan, bahwa body, rangka, ban, kaca, dan komponen lain mobil itu bisa dibuat oleh siapa saja.
“Bisa oleh tukang bubut, UKM atau tukang ketok mejik pinggir jalan. Kalau mau rapi, pakai mesin press casting,” ulas Riza menampik dalih Bahlil soal akuisisi perusahaan Jerman tersebut.
Menurut Riza lagi, Tesla sudah memakai teknologi IDRA mesin press dari Italia untuk membuat body langsung dari metal cair yang bisa menghemat biaya robot dan listrik 40%.
“Dan Tesla telah mengatakan akan bisa menjual EV seharga USD 19.000 dan Tesla membajak tenaga ahli dari Apple untuk membenamkan teknologi ke sistem Tesla, sehingga Tesla bisa diupgrade seperti IOS di HP walaupun mobilnya sudah tua,” beber Riza.
Jadi, ulas Riza, Tesla ingin menciptakan EV jadi seperti telepon genggam (HP). “Jejak carbon Tesla akan semakin kecil dan Tesla bisa melakukan carbon trade yang bisa menutupi biaya produksi.
EV lain Akan sulit bersaing dengan Tesla untuk branding merek dan efisiensi cost produksi,” ulas Riza lagi.
Sementara itu, lanjut Riza, baterai merupakan hal berbeda.
“Baterai hal yang lain bos. Ini perlu penelitian dan scientist ahli kimia supaya lebih kecil, lebih kuat, lebih murah, dan tidak perlu cas, dimana lithium ion nickel perlu cas. Baterai perlu investasi yang besar. Ini tidak bisa dilakukan oleh UKM, tukang bubut dan bengkel ketok mejik,” ungkap Riza.
Jadi, kata Riza, kenapa tidak membuat mobil EV di dalam negeri saja, kalau hanya untuk mobil sederhana yang asal bisa jalan, pakai tukang bubut pun bisa.
“Kalau mau tiru Tesla, pakai IDRA mesin press dari Italia. Kenapa jauh-jauh beli body mobil ke jerman,” ketus Riza.
Bukan masalah harga
Sementara itu, masih mengenai pembelian perusahaan Jerman itu, dilansir Kumparan pada 3 Desember 2021 lalu, ramainya rencana pembelian perusahaan ini karena dianggap terlalu besar, senilai USD 170 juta atau sekitar Rp 2,43 triliun (kurs dolar Rp 14.300).
Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok belum lama ini mengungkapkan penolakannya terhadap rencana ini karena terlalu mahal.
Erick pun buka suara. Dia mengaku kenal baik dengan Djamal Attamimi yang menawarkan StreetScooter untuk dibeli IBC.
“Lho Djamal itu, saya kenal baik. Apa salahnya dia menawarkan? Yang penting saya tidak ada kick back (dijanjikan dapat imbalan). Jangan suudzon,” kata Erick kepada kumparan di Gedung DPR RI, Kamis (2/11)/2021).
Terkait pernyataan Erick tersebut, Riza Mutyara mengatakan bukan masalah harga Streetscooter senilai USD 170 juta itu yang menjadi krusial, melainkan mengenai teknologi yang dibeli.
“Masalahnya yang dibeli bukan teknologi masa depan. Mobil listrik nyawanya di baterai, bukan di pernak-pernik. Jadi yang harus dibeli teknologi baterai saja. Atau bangun sendiri teknologi baterai dengan memberi kesempatan kepada perguruan tinggi dan perusahaan dalam negeri untuk menciptakan baterai baru yang lebih canggih,” jelas Riza.
“Untuk software di EV harusnya diberi kesempatan sama perguruan tinggi dalam negri dan talenta-talenta anak bangsa dan perusahaan-perusahaan dalam negri untuk tidak kalah sama Apple, Tesla, Wuling, Mercedes, MG dan pabrikan lainnya,” tutup Riza.
Jangan beli rongsokan Jerman
Riza lantas membeberkan, perlu teknologi baterai supaya lebih murah. Sekarang EU, Jepang, Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaan besar dengan dana tidak terbatas sedang meneliti untuk memakai magnesium carbonate yang bisa diekstrak dari air laut untuk jadi lebih murah dari lithium ion nickel, supaya EV bisa dijual murah.
“IBC Harus kosentrasi membuat baterai yang lebih canggih dari lithium ion nickel melalui penelitian kerja sama dengan universitas dalam negeri dan luar negri kalau perlu membajak imuwan dari luar negri,” papar Riza.
Riza mengatakan, dunia sekarang sedang meneliti bahan lain untuk baterai yang lebih murah dan bahan bakunya abundant atau berlimpah dibandingkan nickel atau MgCO3 atau magnesium carbonate yang dapat diekstrak dari air laut.
“Peneliti Yan Yao dari University of Houston and Toyota Research Institute of North America meneliti baterai magnesium yang murah dan kuat untuk pengganti lithium ion dari nickel. Cambridge University juga sedang meneliti Mg battery pengganti lithium ion nickel,” ungkap Riza.
“European Magnesium interactive Community E-Magic dari Karlsruhe Institute of Technology (KIT) dan Helmholtz Institute Ulm(HIU) dengan grant agreement No 824066 dari European Commission juga sedang mengembangkan battery dari magnesium. Pellion Technologies University of Notre Dam dan lainnya juga begitu,” sambung Riza.
Jadi, kata Riza, IBC yang dapat tugas dari negara untuk menjadikan Indonesia negara maju dengan membangun hilir SDA Indonesia, jangan kebanyakan ide yang aneh-aneh mau beli rongsokan dari Jerman. “Bisa ketinggalan kita,” kata Riza.
Lebih jauh Riza mengutarakan, Inalum juga harus siap memproduksi bahan metal yang murah, lebih kuat dan 30% lebih enteng dari Aluminium dengan mencampur Al dengan bahan lain yang berlimpah jadi alloy.
“Supaya industri dalam negeri untuk kenderaan, laptop, kamera, kapal terbang dan sepeda berkembang lebih canggih. Karena itu, IBC, MID perlu membangun pusat penelitian yang hebat dari pada beli barang rongsokan,” ujar Riza.
Menurut Riza, sebaiknya menteri-menteri yang ada saat ini tidak mengambil peranKementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI. “Ketinggalan kita kalau begitu,” tutup Riza.(hs)