MEDAN, CERINEWS.ID – Kerja segenap karyawan Pertamina RU IV Cilacap di bawah General Manager Eko Sunarno yang telah berhasil memadamkan kebakaran tangki di area kilang Pertamina Cilacap yang terbakar sejak Sabtu (13/11/2021) jam 19.30 WIB patut mendapat pujian.
“Akan tetapi mengingat kilang dengan semua fasilitas penunjang seperti tangki adalah aset strategis nasional yang digunakan memenuhi kebutuhan orang banyak, sehingga tidak boleh dikelola secara serampangan, oleh sebab itu kejadian kebakaran ketiga di tahun 2021 ini harus diusut tuntas agar tidak terulang lagi,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman , Minggu (14/11/2021) di Medan.
Menurut keterangan Yusri, adapun fasilitas yang terbakar adalah tangki 36T-102 yang berisi komponen Pertalite sebanyak 31.000 kiloliter dari total maksimal kapasitas tangki 39.000 kiloliter.
“Pada saat kebakaran terjadi, Pertamina berhasil memindahkan produk yang ada di tangki 101 ke terminal BBM. Tindakan itu untuk menghindari tangki lainnya di dalam bandwall ikut terbakar, karena di dalam bandwall itu terdapat 5 tangki BBM. Infonya sebagian dari tangki lain juga lagi kosong isinya,” ungkap Yusri.
Di tahun ini saja, kata Yusri, kebakaran tangki ini merupakan kejadian kedua di kilang Cilacap, sebelumnya pada 11 Juni 2021 telah terjadi juga kebakaran di tangki berisi benzena.
“Terbakarnya tangki di kilang Balongan Jawa Barat pada 29 Maret 2021 dan kilang Cilacap Jawa Tengah pada 11 Juni 2021, dan terbaru kemaren tanggal 13 November 2021 terjadi di saat hujan lebat dan ada petir,” ungkap Yusri.
Menurut Yusri, terkesan opini yang dibentuk bahwa tiga kali tangki yang terbakar di tahun ini adalah disebabkan oleh adanya petir, hal mana jelas tak bisa selalu dibenarkan.
“Padahal, keberadaan petir hanya sebagai pemantik dengan asumsi penangkal petir tidak berfungsi efektif,” ungkap Yusri.
Intinya, kata Yusri, adalah karena ada uap yang keluar dari kebocoran tangki berisi BBM tersebut kemudian disambar oleh petir akan terbakar.
“Ingat segitiga api. Jika ada BBM, ada udara dan ada panas dengan kondisi tertentu maka akan terjadi lah api alias terbakar. Jadi, jika tidak ada BBM yang bocor dari tangki gimana bisa terbakar? Karena itu sudah rule of tumb,” beber Yusri.
Karena, kata Yusri, jika hanya petir dianggap menjadi penyebab terbakarnya tangki di kilang, mengapa tidak terbakar semua tangki-tangki di kilang sejak puluhan tahun lalu hingga sebelum terjadi tangki terbakar di sepanjang tahun 2021?
“Perlu diketahui, di area band wall tangki 36 T ada 5 tanki dengan rata rata volume maxsimal bisa mencapai 39.000 KL, dengan inisial T-101 hingga T-105,” ungkap Yusri.
Informasinya, kata Yusri,tangki T 102 yang terbakar itu baru saja selesai di perbaiki oleh Pertamina pada Agustus 2020, sehingga yang perlu diketahui faktor apa yang membuat masih adanya kebocoran itu jauh lebih penting dijelaskan oleh Pertamina ke publik.
“Apakah ada faktor keteledoran petugas di area tangki yang bertanggung jawab melihat adanya kebocoran itu, tetapi diduga membiarkan nya atau apa?,” beber Yusri.
Harus diingat, kata Yusri, harga tangki seukuran itu sekitar USD 1 juta dan sejumlah 31.000 kiloliter Pertalite bernilai Rp 235 miliar sudah ludes terbakar menjadi kerugian Pertamina, belum lagi terhitung biaya pemadaman dan lain lainnya.
“Siapa yang harus bertanggung jawab atas kebakaran berutun terhadap tangki kilang Pertamina selama ini? Jangan sampai apa yang terjadi sekarang, akan menular ke kilang Balikpapan, Dumai dan TPPI Tuban,” ulas Yusri.(hen)