PENGERTIAN privatisasi itu ya penjualan asset negara, ddalam hal ini adalah aset PLN. Di awal munculnya istilah ini pada tahun 1999, bahasanya jelas. Saat itu Direksi PLN mendapat instruksi dari Pemerintah (Menteri Pertambangan dan Energi serta Meneg BUMN) agar mempersiapkan penjualan atau privatisasi PLN.
Saat itu, dalam sosialisasi privatisasi ini dibungkus dengan kemasan Public Awareness Campaign (PAC). Pertimbangannya adalah karena PLN ibarat kapal sudah terlalu besar maka harus dipotong-potong (di Unbundling) dan potongan-potongannya ada yang dijual ke swasta.
Bagian yang akan dipotong-potong itu adalah kawasan Jawa-Bali, dimana PLN cukup urus jaringan transmisi dan distribusi sedang pembangkit dan retail dijual ke swasta.
Tapi setelah ada penolakan dan Judicial Review Undang Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan oleh SP PLN pada 2004, strategi penjualan atau privatisasi dirubah.
Untuk pembangkit, semuanya dilakukan dengan Independent Power Producer (IPP), yaitu mengundang investor, kemudian investor diminta bangun pembangkit dan setelah jadi PLN membeli stroom pembangkit IPP tersebut, kemudian pembangkit PLN distop tidak boleh beroperasi. Atau pakai muter-muter dulu.
Sekali lagi kalau kita tengok konsep arahan IFIs (WB, ADB, IMF) mereka menargetkan agar di Jawa-Bali terjadi Unbundling Vertikal dan kemudian terjadi kompetisi penuh atau MBMS (Multi Buyer and Multi Seller) System. Agar kontraktor mereka bisa bebas mencari keuntungan?
Dan mulai 2020, mayoritas kelistrikan sudah dikuasai swasta (termasuk retailnya juga). Tetapi di Jawa-Bali masih tersisa 10% pembangkit PLN yang masih beroperasi serta ada sekitar 17.000 MW pembangkit yang mangkrak akibat larangan beroperasi oleh Menteri BUMN (Tempo 14 Desember 2019, Jawa Pos 16 Mei 2020).
Untuk menuntaskan masalah di atas, maka diambil langkah kebijakan Holdingisasi pembangkit Geothermal ke Pertamina, pembuatan BUMN PLTU baru, penyerahan beberapa PLTA ke Kementerian PUPR serta Relokasi beberapa PLTGU ke luar Jawa-Bali.
Itulah langkah privatisasi atau penjualan aset negara bernama PLN yang berputar-putar atau merayap itu! Yang disertai dengan “sandiwara” subsidi!
Berbeda dengan yang terjadi di Philipina. Setelah Undang Undang Ketenagalistrikan (EPIRA) terbit pada 2001, tidak ada Judicial Review. Kemudian antara 2006-2007 NAPOCOR (PLN-nya Philipina) dijual semua mulai pembangkit, transmisi, distribusi, dan retail ke GE (AS) , Mitsui, Mitsubishi, Sumitomo, Kanshai dll (Jepang), EDF (Perancis), Hyundai (Korea) dan lainnya.
Setelah itu karena tidak ada subsidi, karena instalasi NAPOCOR tidak tersisa, maka listrik langsung naik lima kali lipat (kesaksian David Hall pada Sidang MK 2010).
Kesimpulannya, kalau privatisasi atau penjualan aset Negara di Philipina tanpa “basa-basi”, maka di Indonesia penjualan PLN yang sudah terjadi, berusaha ditutup-tutupi dengan berbagai macam “manuver” dengan mengandalkan hutang luar negeri terutama dari China!
Pertanyaannya, ada apa China mengumbar hutang ke Indonesia dalam ribuan triliun? Termasuk subsidi listrik yang besar dan susah mendeteksinya secara pasti?***
Magelang, 9 Agustus 2021
Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST