PENGELOLAAN Blok Rokan (BR) resmi beralih dari Chevron (Chevron Pacific Indonesia, CPI) ke Pertamina (Pertamina Hulu Rokan, PHR) pada 9 Agustus 2021. Blok migas di Riau tersebut dikelola perusahaan Amerika hampir satu abad, sejak dari Socal (1924), Socal & Texaco (1936), berubah jadi Caltex (1960) dan Chevron (2005).
Minyak yang dihasilkan berasal dari lapangan Duri, Minas, Kotabatak, Bekasap, Bangko, dll. Sebagian besar cadangan minyak telah terkuras dengan total akumulasi (menurut SKK Migas) sekitar 11,69 miliar barel.
Karena kontrak PHR menggunakan skema gross split, penerimaan negara sangat potensial turun, terutama karena GCG dan independensi BUMN sangat minimalis. SKK Migas tidak lagi terlibat pengawasan dan pengendalian kontrak.
Di sisi lain, intervensi oknum-oknum penguasa partai dan oligarki penguasa-pengusaha sangat dominan. Dalam aspek bisnis finansial, negara pun sangat potensial dirugikan akibat kewajiban divestasi saham (participating Interest, PI).
Padahal Blok Rokan telah berproduksi, risiko bisnis rendah, pendapatan kotor rutin sekitar USD 3,92 miliar per tahun, dan keahlian SDM tersedia, sehingga mitra melalui divestasi sebenarnya tidak diperlukan.
Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa rencana divestasi saham yang diwajibkan Kementrian ESDM tersebut merupakan hal yang harus digugat dan dihentikan, karena melanggar konstitusi atau aturan dan berpotensi merugikan negara ratusan triliun Rupiah.
Proses diviestasi saham PHR melibatkan nilai aset negara berorde ribuan triliun. Meski telah diekspolitasi sejak 1936, Rokan masih menyimpan cadangan terbukti dan potensial 1,5 –2,5 miliar barel.
Jika diasumsikan harga minyak sama dengan harga rata-rata 10 tahun terakhir (US$ 66 per barel), maka nilai bruto aset cadangan tersebut berkisar US$ 99 miliar hingga US$ 165 miliar. Pada kurs US$/Rp=14.000, maka nilai bruto aset adalah Rp 1.386 triliun – Rp 2.310 triliun. Untuk selanjutnya, aset tersebut diasumsikan 2 miliar barel atau sekitar Rp 1.848 triliun.
Disebutkan PI milik PHR yang akan didivestasi 39%. Dari aspek bisnis finansial, maka kita bicara soal pengalihan hak pengelolaan aset negara bernilai 39% x Rp 1.848 triliun = Rp 720 triliun! Publik pantas ragu dan perlu menggugat bahwa ditengarai proses divestasi tidak berjalan sesuai aturan, sarat moral hazard, dan penuh rekayasa kebijakan pro oligarki.
Biaya akuisisi cadangan migas yang berlaku umum secara global minimal sekitar 12,5% dari nilai cadangan (Ernst & Young, 2012). Karena itu, dengan cadangan sekitar dua miliar barel, maka biaya akuisisi 100% cadangan Rokan minimal adalah 12,5% x 2 miliar barel x US$ 66/barel = US$ 1,65 miliar. Karena adanya operasi secondary (injeksi air/gas) maupun tertiary recovery (gas/CO2 atau zat kimia), diasumsikan adanya discount biaya sekitar 10%. Dengan demikian biaya minimal akusisi 100% saham Rokan adalah US$ 1,48 miliar.
Pertamina telah membayar signature bonus (SB) sebesar US$ 784 juta kepada Pemerintah RI pada Desember 2018. Tanpa memperhitungkan nilai SB yang telah dibayar Pertamina, maka mitra usaha PHR yang akan mengakuisisi 39% aset cadangan minyak Blok Rokan minimal harus membayar biaya 39% x US$ 1,48 miliar = US$ 579 juta. Jika SB diperhitungkan, biaya akuisisi minimal yang harus dibayar US$ 579 juta + 39% x US$ 784 juta = US$ 884,76 juta.
Terlepas divestasi PI Blok Rokan melanggar konstitusi – sehingga harus digugat dan ditolak – maka mitra PHR yang akan mengakuisisi 39% PI saham Rokan harus membayar minimal US$ 579 juta (tanpa memperhitngkan SB) atau US$ 884 juta (jika memperhitungkan SB). Jika tidak, atau membayar jauh lebih rendah, maka patut diduga terjadi korupsi atau KKN yang mengakibatkan negara dirugikan puluhan triliun Rupiah.
Pelanggaran UU Migas dan Konstitusi
Kementerian ESDM telah menetapkan Pertamina wajib memiliki partner di Blok Rokan seperti tertuang dalam Kepmen ESDM No.1923K/10/2018. Pada diktum kelima disebutkan Pertamina wajib mempertahankan, bahkan meningkatkan produksi migas dan wajib bekerja sama dengan mitra yang memiliki kemampuan di bidang hulu migas sesuai kelaziman bisnis. Diktum Kepmen ESDM ini jelas mewajibkan Pertamina mendivestasi sahamnya di PHR.
Dirut PHR Jaffee mengatakan pencarian mitra masih terus dilakukan oleh subholding hulu Pertamina (22/7/2021). Wakil Kepala SKK Migas Fatar Y.A mengungkap proses pencarian mitra bersifat business to business, dan SKK tidak intervensi (22/7/2021).
Corporate Secretary Subholding Upstream Pertamina Whisnu B. mengatakan Pertamina mencari mitra yang punya kemampuan modal dan teknologi. Hasil pencarian akan disampaikan kepada Menteri ESDM (22/7/21).
Sampai akhir acara seremoni pengalihan Blok Rokan pada tengah malam 8 Agustus 2021, Pemerintah atau Pertamina belum juga mengumumkan siapa mitra PHR di Blok Rokan (akan mengakuisisi 39% saham). Sebelum terlambat, proses pencarian tersebut harus segera dihentikan, karena Kepmen No.1923K/2018 bukanlah dasar hukum yang dapat dijadikan oleh Pertamina atau Subholding PHE mendivestasi saham PHR, seperti diurai berikut.
Karena Kepmen ESDM No.1923/2018 tidak valid, maka PHE tidak legal melanjutkan proses divestasi yang sedang berlangsung.
Divestasi saham PHR menyangkut transaksi aset negara yang potensi nilainya Rp 1.848 triliun. Nilai aset ini sangat besar untuk diputuskan oleh manajemen sebuah BUMN. Apalagi hanya oleh subholding di BUMN!
Proses penawaran dan undangan kepada calon mitra tidak jelas untuk tidak mengatakan tertutup. Hal ini jelas sarat moral hazard! Untuk penjualan saham-saham BUMN yang bernilai puluhan atau ratusan triliun Rupiah saja, pemerintah harus mendapat izin DPR. Bagaimana bisa, divestasi saham Blok Rokan menyangkut aset ribuan triliun Rupiah, pemerintah yang diyakini berada di bawah intervensi oligarki, mengakali DPR dan publik?
Dirut PHR yang berasal dari SKK Migas, bukan dari Pertamina sebagai pemegang 100% saham. Ternyata Dirut Subholding Upstream Pertamina (PHE) pun berasal dari “luar Pertamina”.
Silakan publik berspekulasi terhadap kebijakan bernuansa konspiratif ini. Juga terhadap “penyembunyian” proses divestasi saham PHR melalui subholding PHE yang luput dari pantauan publik. Hal ini merupakan proses bernuansa oligarkis sarat moral hazard guna meraih sebagian potensi untung Rp 242 triliun!
Pelanggaran UU BUMN dan Konstitusi
Menurut Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, Pertamina adalah BUMN yang mendapat mandat negara memenuhi hajat hidup rakyat mengelola sumber daya alam (SDA) Migas, bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dominasi BUMN mengelola SDA di atas telah diperkuat Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No.36/2012 dan No.85/2013. Pada prinsipnya MK menyatakan penguasaan negara terhadap SDA dijalankan oleh Pemerintah dan DPR dalam pembuatan kebijakan, pengurusan, pengaturan dan pengawasan yang berada di tangan Pemerintah dan DPR. Sedangkan penguasaan negara dalam pengelolaan SDA berada di tangan BUMN.
Amanat Pasal 33 UUD 1945 di atas diimplementasikan dalam peraturan operasional yang termuat dalam Undang Undang BUMN Nomor 19 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2004.
Pasal 77 huruf (c) dan (d) UU BUMN No.19/2003 menyatakan: Persero tidak dapat diprivatisasi karena: (c), oleh pemerintah ditugasi melaksanakan kegiatan berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan (d), bergerak di bidang SDA yang diatur UU tidak boleh diprivatisasi.
Sedangkan Pasal 28 ayat (9) dan (10) PP Hulu Migas No.35/2004 berbunyi sbb: (9) Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada Menteri mengelola Wilayah Kerja habis Kontrak; dan (10) Menteri dapat menyetujui permohonan dimaksud, dengan menilai kemampuan teknis dan keuangan, sepanjang saham Pertamina 100% dimiliki Negara.
Gabungan ketentuan Pasal 77 UU BUMN No.19/2003 dan ketentuan Pasal 28 ayat 9 & 10 PP No.35/2004 menyatakan, sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak dan pengelolaan SDA, maka pelaksananya hanyalah BUMN.
Hak istimewa pengelolaan SDA diberikan negara kepada BUMN hanya karena saham pemerintah di BUMN masih utuh 100%. Jika saham pemerintah di BUMN kurang dari 100%, maka privilege otomatis hilang.
Pertamina memperoleh hak mengelola Blok Rokan karena 100% sahamnya masih dikuasai negara. Jika kurang dari 100%, jangankan anak usaha atau subholdingnya, Pertamina sebagai BUMN induk pun tidak eligible memperoleh previlige tersebut. Tujuannya adalah agar manfaat terbesar Blok Rokan dapat dinikmati bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Rekayasa kebijakan yang berlangsung adalah, guna meraih hak, Pertamina diajukan sebagai badan usaha pengelola. Setelah hak diperoleh, dalam waktu singkat Pemerintah memaksa Pertamina mendivestasi sebagian saham melalui penjualan PI oleh subholding (PHE).
Akibatnya, dengan modus divestasi seperti ini manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal diraih. Namun di sisi lain, sebagian keuntungan justru akan dinikmati oleh mitra usaha yang merupakan bagian dari oligarki kekuasaan.
Sebenarnya konstitusi dan peraturan yang ada sudah cukup memadai guna mengamankan kepentingan rakyat. Namun karena lebih memihak kepentingan oligarki, menurut hemat IRESS, pemerintah justru terlibat rekayasa dengan membuat kebijakan dan aturan akal-akalan guna melancarkan proses divestasi PI Blok Rokan. Jika saham atau PI PHR tetap didivestasi, maka terjadi rekayasa aturan manipulatif yang berujung pada kerugian negara dan rakyat.
Kesimpulan
Kepmen ESDM No.1923K/2018 yang mewajibkan Pertamina/PHR mendivestasi saham Blok Rokan jelas melanggar PP No.35/2004, UU No.22/2001, UU No.19/2003 dan Pasal 33 UUD 1945.
Kepmen tersebut jelas merupakan aturan yang manipulatif dan konspiratif, serta sarat kepentingan oligarki pemburu rente, yang dapat merugikan negara puluhan hingga ratusan triliun.
Kita tidak paham apakah Presiden Jokowi telah memperoleh informasi yang lengkap tentang hal ini. Namun apa pun itu, jika proses divestasi berlanjut, apalagi tanpa membayar biaya akuisisi cadangan minyak minimal yang berlaku umum dan sharing signature bonus, maka Presiden Jokowi dianggap telah melanggar konstitusi.***
Jakarta, 11 Agustus 2021
Marwan Batubara, IRESS