JAKARTA – Mantan petinggi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Senin (17/2/2025) mengutarakan tanggapan atas Rilis Media CERI terkait penyidikan dugaan tindak pidana pada tata kelola Migas oleh Kejagung belakangan ini.
Dijelaskan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, mantan petinggi KPI itu membenarkan kondisi yang dibeberkan CERI sebelumnya.
Hal ini harus menjadi pertimbangan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk banyak tanya tanya dulu sebelum mengeluarkan pernyataannya di publik.

Yusri yang sejak tahun 1990 sudah aktif di HIPMI Sumut dan DKI serta sempat duduk di kompartemen UMKM BPP HIPMI perlu mengingatkan ade Bahlil bahwa kaka sudah tau apa yang belum ade kerjakan.
“Sesuai aturan Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018, Pertamina diminta mengolah Minyak Mentah dan atau Kondensat Bagian Negara (MMKBN) di semua kilangnya tapi semua itu harus melihat spesifikasi crude dan harga keekonomiannya. Di tahun 2018 saat aturan itu ada kilang semaksimal mungkin menyerap minyak mentah domestik. Namun berjalannya waktu, harga minyak mentah domestik khususnya SLC, Duri dan BUCO yang jumlahnya cukup banyak, merambat naik terus sehingga membuat margin kilang minus,” kata Yusri mengungkap keterangan mantan petinggi KPI itu.
Sebagai contoh, lanjut Yusri, untuk Sumatra Light Crude (SLC) milik Chevron yang super heavy, sangat dibutuhkan di Kilang Balongan. Namun harga naik selangit, sehingga dengan unit process yang paling moderen di Kilang Balongan menjadi minus marginnya sehingga KPI melakukan revamping Kilang Balongan menjadi bisa mengolah medium crude. Sehingga crude super heavy tidak mandatory.
Contoh lain lagi, lanjut Yusri, untuk minyak mentah Banyu Urip Exxon (Buco) yang merupakan Crude Medium dengan high sulfur, harga juga merangkat naik terus sejak tahun 2018 sehingga tidak membuat baik keekonomian kilang dan Pertamina diminta tetap dengan harga ICP plus.
“Nah, dengan 100 persen diserap di Kilang, seolah-olah di pasaran BUCO langka. Sementara demand tinggi. Itulah yang membuat harga naik terus. Makanya coba silahkan dijual di pasar bebas sehingga ada balancing antara supply dan demand sehingga harga tidak melambung tinggi terus,” jelas mantan petinggi KPI itu kepada Yusri lagi.
Lebih lanjut dikelaskan, kebijakan MMKBN atau paroduk bagi hasil kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) semaksimal mungkin diserap kilang itu merupakan kebijakan yang cukup bagus. Tapi harus dilihat harus dipertimbangkan harganya sehingga berdampak pada margin positif di kilang.
“Atau seperti BBM subsidi, Kilang Pertamina mengolah semua MMKBN dan bagian KKKS dengan biaya pokok produksi yang kompetitif sesuai benchmark international, tapi bila hasilnya negatif, Pemerindah yang kasih subsidi atau tolling fee ke Kilang untuk semuanya diolah di kilang. Pemerintah bayar fee pengolahan dan distribusi. Namun ini sulit juga karena tetap ada injeksi crude import karena produksi crude domestik tidak bisa memenuhi kebutuhan kilang untuk supply kebutuhan BBM nasional,” lanjut Yusri.
Sebenarnya, sebut Yusri, mau diolah atau diekspor dan Pertamina impor atau mengolah, bisa lebih menguntungkan diekspor jika harga crude domestik tersebut lebih tinggi harganya dari harga crude yang diimpor Pertamina untuk kilang. Malah ada dua profit. Satu profit di Pemerintah dengan selisih harga crude tersebut. Kedua, Kilang mendapatkan margin positif.
“Namun bila sebaliknya, masukkan semua ke Kilang. Tapi semuanya harus amanah yang mengelola tersebut baik di Pemerintah (ESDM) dan SKKMigas serta di Pertamina,” pungkas Yusri menuturkan pendapat mantan petinggi KPI tersebut.(*)