JAKARTA – Laporan keuangan BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berkode emiten GIAA untuk Semester I Tahun 2024 yang telah dirilis membukukan kerugian USD 101,65 juta atau setara Rp 1,6 triliun, patut diwaspadai.
“Lantaran sebelumnya, GIAA pada laporan keuangan tahun 2023 (audited) membukukan laba USD 251 juta (kurs USD Rp 15.226 per dolar) atau setara Rp 3,8 triliun,” ungkap Sekretaris Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Hengki Seprihadi, Rabu (2/10/2024).
Dikatakan Hengki, jika menelisik lebih dalam laba tahun 2023, terdapat kontribusi pendapatan lain-lain bersih yang nilainya sangat fantastis sebesar USD 344 juta, bahkan melebihi dari laba tahun tersebut sebesar USD 251 juta.
“Sehingga tanpa adanya pendapatan lain-lain, maka secara operasional Garuda Indonesia mengalami kerugian sekitar USD 93 juta pada tahun 2023 atau setara dengan Rp 1,4 triliun,” ungkap Hengki.
Lebih lanjut Hengki mengatakan, secara fundamental perusahaan yang sehat tidak tergantung dari pendapatan lain-lain, tetapi tergantung pada pendapat utama perusahaan. Pada laporan keuangan Garuda Indonesia, hanya dikenal dua pendapatan utama, yaitu penerbangan berjadwal atau reguler dan non berjadwal atau charter dan haji.
“Bahkan dapat dilihat bahwa pendapatan lain-lain bersih tersebut di kontribusikan oleh pembalikan penurunan nilai asset non keuangan sebesar USD 198 juta, termasuk keuntungan atas penarikan obligasi USD 63,8 juta dan sumber lain lain bersih USD 61,8 juta,” beber Hengki.
Bisa jadi, lanjut Hengki, kinerja manajeman Garuda Indonesia (GIAA) saat ini belum mampu dioptimalkan setelah dilakukan restrukturisasi dan dilakukan injeksi PMN sebesar Rp 8,5 triliun pada tahun 2022.
“Ironisnya, nilai PMN ke Garuda Indonesia saat ini hanya bernilai sekitar Rp 2,91 triliun dari awalnya Rp 8,5 triliun, rugi sekitar Rp 5,59 triliun akibat nilai saham GIAA hari ini hanya di level Rp 57 per lembar saham,” lanjut Hengki.
Sementara, lanjut Hengki, posisi kas Garuda Indonesia cenderung menurun mulai dari akhir tahun 2022 sebesar USD 470 juta atau setara dengan Rp 7,2 triiun.
“Kemudian, pada tahun 2023 mengalami defisit USD 243 juta, sehingga posisi kas pada akhir tahun 2023 menjadi USD 289 juta dan selanjutnya pada akhir Juni 2024 (Semester I) menurun menjadi USD 229 Juta atau setara dengan 3,48 triliun,” pungkas Hengki.(*)