JAKARTA – Meskipun banyak aturan telah dibuat berupa Undang Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri dengan turunannya berupa Pedoman Tata Kerja (PTK) oleh SKK Migas untuk peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk industri hulu Migas, ternyata lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran terhadap TKDN telah menyebabkan praktek impor material yang sudah mampu diproduksi di dalam negeri tersebut masih subur terjadi hingga saat ini.
Keluhan pengusaha atas lemahnya peran maksimal SKK Migas dan Ditjen Migas Kementerian ESDM yang awalnya diharapkan sebagai garda terdepan dan benteng terakhir untuk memastikan komitmen TKDN pada infrastruktur hulu migas, ternyata lemah.
Diduga ada kekuatan besar yang membuat peran pejabat migas tersebut menjadi lemah, disinyalir pelanggaran terhadap TKDN di industri hulu migas bisa berlangsung terus.
Jadi kekagetan dan keluhan yang sering diucapkan Presiden Jokowi di berbagai forum bahwa mengapa negara kita impornya besar terus, ternyata akibat anak buahnya ikut membiarkan praktek yang merugikan kepentingan industri dalam negeri bisa terjadi terus.
Hal tersebut justru terjadi meskipun telah ada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk UMKM untuk Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
Demikian diutarakan Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Jumat (20/9/2024) di Jakarta.
“Padahal, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah menertibkan rencana impor barang (RIB) untuk industri migas. Saat itu, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengatakan kepada media bahwa penertiban RIB akan dilakukan oleh Ditjen Bea Cukai Kemenkeu yang akan berkerja sama dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM, tetapi kami pun tidak tau apa progresnya hingga saat ini,” lanjut Yusri.
Sebab, kata Yusri, ternyata ada siasat yang dilakukan oleh importir nakal untuk menghindari larangan impor tersebut dengan menggunakan pabrik yang punya workshop di Kawasan Berikat.
“Jadi importir nakal ini bisa mengeluarkan produk-produk impor yang masuk ke Kawasan Berikat lantaran mereka bisa impor langsung tanpa harus minta Pertimbangan Teknis (Pertek) ke Kementerian Perindustrian untuk bisa mendapat rekomendasi impor ke Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan,” beber Yusri.
Yusri mengutarakan, harusnya semua pihak punya tanggungjawab bersama untuk mencegah banjirnya produk impor kebutuhan sektor migas yang sudah bisa diproduksi dengan kualitas yang bagus, khususnya untuk melindungi industri jasa penunjang migas dalam negeri bisa terus berproduksi.
“Sebab, berdasarkan informasi terbaru yang kami peroleh bahwa industri jasa penunjang hulu migas juga akan mengalami nasib yang sama dengan industri lainnya yang sudah duluan bangkrut,” kata Yusri.
Meskipun SKK Migas telah menetapkan aturan berupa Pedoman Tata Kerja untuk memastikan komitmen TKDN pada industri hulu migas yang dioperatori Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), khususnya kontrak dengan skema cost recovery, ternyata dugaan pelanggaran terhadap komitmen TKDN masih saja terjadi.
“Sebagai contoh kecil, diduga adanya upaya kontrakror EPC di Medco Tomori, yaitu konsorsium PT Timas Suplindo dengan PT Pratiwi Putri Sulung (KSO Timas-Pratiwi) dengan mengundang vendor yang akan melakukan impor komponen untuk memenuhi kebutuhan proyek tersebut, jika benar informasi tersebut seyogyanya langkah itu harus segera dicegah dan ditindak,” ungkap Yusri.
Yusri membeberkan, diketahui konsorsium Timas Suplindo dengan Pratiwi Putri Sulung telah menanda tangani kontrak EPC dengan JOB Pertamina-Medco E&P Sulawesi Tengah untuk pengembangan lapangan gas Senoro Selatan pada 26 Februari 2024. Rencananya proyek gas Senoro Selatan diperkirakan akan onstream pada akhir tahun 2025.
Padahal, kata Yusri, kegiatan impor itu jelas melanggar komitmen TKDN sesuai PTK 07 revisi ke 05 yang tegas menyatakan, “Dalam rangka memastikan penggunaan produk dalam negeri oleh Pelaksana kontrak KKKS Cost Recovery melakukan pengawasan pada tahap pelaksanaan kontrak dengan cara melakukan verifikasi untuk memenuhi kewajiban capaian TKDN dan penggunaan produk dalam negeri”.
“Termasuk sanksi ringan sampai sanksi daftar hitam alias black list terhadap rekanan tersebut. Namun jika tetap berani melanggarnya patut diduga ada backing kuat di belakangnya yang berani melawan negara,” pungkas Yusri.(*)