JAKARTA – Penguasa yang bijaksana dapat mengingkari janjinya dan untuk mencapai tujuan dapat menghalalkan cara. Pada akhirnya, logika kekuasaan memang soal kepentingan untuk memenuhi hasrat kekuasaan semata.
“Mungkin ungkapan di atas yang paling tepat untuk memvisualisasikan potret kekuasaan politik hari ini. Politik telah dijadikan alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, oleh sebab itu pendidikan politik yang dipertontonkan oleh para aktor politik adalah materi pelajaran merebut dan mempertahankan kekuasaan. Oleh sebab itu dalam setiap peristiwa politik, selalu diwarnai oleh tragedi berdarah yang mengobankan rakyat dan jatuhnya korban politik,” ungkap Pemerhati Intelijen Sri Radjasa MBA, Senin (12/8/2024).
Menurut Sri Radjasa, mundurnya Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar, adalah modus pengambil alihan kekuasaan, sama sekali bukan dilatarbelakangi oleh adanya konflik internal Golkar, tapi lebih disebabkan adanya kekuatan kekuasaan yang menghendaki Golkar dijadikan buffer politik, untuk melanggengkan kekuasaan dan alat bargaining power menghadapi persoalan hukum.
“Modus politik penyanderaan telah dijadikan alat efektif untuk melengserkan Airlangga dari kursi Ketua Umum Golkar, hal ini pun pernah dialami oleh Parpol papan atas lainnya, untuk bertekuk lutut di hadapan penguasa,” ungkap Sri Radjasa.
Politik Penyanderaan menurut Sri Radjasa merupakan fenomena politik yang memiliki implikasi buruk terhadap pembangunan demokrasi dan penegakan hukum. Politik penyanderaan dapat dianalogikan sebagai ‘perangkap tikus’ yang membiarkan terjadinya praktek korupsi oleh pejabat negara.
“Akibatnya praktek politik penyanderaan, telah menimbulkan kerugian negara yang tidak kecil. Sudah saatnya aktor yang memainkan politik penyanderaan adalah bagian dari tindak pidana, karena membiarkan pelaku tindak pidana lolos dari jeratan hukum,” pungkas Sri Radjasa.(*)