JAKARTA – Islam secara tegas menyatakan semua umat manusia setara di sisi Allah SWT, kecuali ketakwaannya. Realita tak terbantahkan di negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia, para pemangku kebijakan di bidang hukum, justru mengeksploitasi kekuasaannya dan mempersonifikasikan sebagai tuhan-tuhan baru, dengan arogannya membagi strata sosial di mata hukum.
“Di antaranya strata tertinggi adalah pejabat negara dan keluarganya, kemudian kasta oligarki dan kroninya, selanjutnya strata terendah rakyat jelata. Dengan kata lain penegakan hukum tegas dan tajam menghujam dada rakyat kecil, sementara mereka yang berada pada strata sosial tertinggi, mampu berenang di atas hukum dan undang-undang,” ungkap Pemerhati Intelijen Sri Radjasa MBA, Jumat (19/7/2024).
Menurut Radjasa, potret keseharian sajian berita tentang para pemangku kebijakan di sektor hukum terlibat pelanggaran hukum berat, di antaranya aksi koboy Sambo yang sakti merubah vonis hukuman mati menjadi seumur hidup, sindikat narkoba Teddy Minahasa atau persekongkolan jahat Joko Chandra dengan oknum Polri dan Kejagung.
Selain itu, kata Radjasa, ada juga tentang maraknya praktek kriminalisasi oleh oknum polisi dan Jaksa terhadap penyelenggara lelang proyek APBN dan APBD, dugaan keterlibatan oknum polisi yang menyebabkan kasus Vina yang kasat mata jadi bertele-tele, percobaan pembunuhan dan pemerasan oleh Kompol Dedi Budiana penyidik Polda Jabar dan diduga kuat melibatkan oknum kejaksaan tinggi Jabar terhadap Ir. Muhammad Darwis, tapi korban malah mendekam dalam rutan Cipinang.
Selanjutnya juga ada kasus suap yang melibatkan Ketua KPK Firli Bahuri, walau sudah jadi tersangka tapi urung dibui.
“Fenomena sederet daftar hitam pelaku kejahatan yang melibatkan petinggi negara, menjadi bukti bahwa mereka yang menduduki strata sosial tertinggi, sesungguhnya adalah aktor kejahatan yang mengakibatkan negara ini semakin terpuruk. Alih-alih Negara hadir mengatasi kesulitan rakyat untuk memperoleh keadilan, justru malah penyelenggara negara berperan sebagai problem taking bukan problem solving,” ungkap Radjasa.
Patut dijadikan catatan oleh para penegak hukum, lanjut Radjasa, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa tangguh, tidak lekang walau tersisih secara politik dan ekonomi. Tapi harus diwaspadai jika terus menerus haknya untuk memperoleh rasa keadilan direnggut, karena bangsa ini memiliki sejarah dasyatnya aksi kolosal rakyat yang meluluhlantakan kekuasaan negara yang tidak amanah.
“Di negara ini terminologi ‘bersih’ tidak hanya karena tidak suka kotor, tapi ‘bersih’ juga dimaknai karena tidak kebagian atau belum tertangkap,” pungkas Sri Radjasa.(*)