Negara Telah Membunuh Kehidupan dan Masa Depan Warga Rempang Galang

oleh

A. REMPANG TANAH BERTUAN.

Dikutip dari Kitab Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan  bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari prajurit-prajurit atau Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Dalam Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, salah seorang Pahlawan Nasional. Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787), mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.

Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga pada tahun 1787, Pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga, yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad dan Panglima Raman yang diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.

Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga.

Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. 

Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan, semacam pasukan elit.

Jadi, adalah keliru jika penguasa Negara  Indonesia menganggap Penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang. Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini. Pada umumnya mereka beragama Islam.

Hari ini jumlah penduduk Pulau Rempang diperkirakan 5.000 jiwa, tidak termasuk Galang dan Bulang, mata pencaharian pada umumnya sebagai nelayan dan berdagang.

B. MASUKNYA INVESTOR.

Masuknya investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam Nyat Kadir dengan investor dari Group Artha Graha yakni PT MEG.

Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap atau diterlantarkan. Lalu masuklah sejumlah orang-orang dari luar Rempang yang membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah-buahan dan lain lain. Mereka adalah pendatang yang menempati bagian darat dari Pulau Rempang.

Sedangkan penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdiam di bagian pesisir di 16 kampung tua Pulau Rempang.

Selama 19 tahun ditelantarkan seharusnya Hak atas Lahan sudah dicabut oleh Pemerintah sesuai dengan UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960). Pada tahun 2023 ini PT MEG menggandeng investor dari Cina dengan investasi disebutkan sebesar  Rp 381 Triliun. Masuknya investor dari Cina ini adalah hasil kunjungan Presiden RI ke Cina akhir-akhir ini.

Masuknya investor Cina bersama PT MEG akan membangun megaproyek yang disebut REMPANG ECO CITY, dan untuk itu BP Batam mengalokasikan tanah seluas 117.000 Hektare. Berarti seluruh pulau Galang yang luasnya 116.000 Hektare, ditambah dengan pulau-pulau di sekitarnya seperti Pulau Galang dan liannya. Untuk itu seluruh penduduk Pulau Rempang yang berdiam di 16 kampung tua, akan dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain, yang sampai saat ini tempat relokasi itu sama sekali belum dibangun.

C. KONFLIK DAN KEKERASAN APARAT DEMI INVESTASI.

Warga Rempang baru mengetahui adanya rencana Pembangunan megaproyek Rempang Eco City pada awal Agustus 2023 dari berita di media. Tidak ada sosialisasi resmi dari pemerintah sebelumnya.

Sejak awal Agustus 2023 pihak BP Batam berusaha masuk ke Pulau Rempang untuk memasang patok di atas tanah yang sudah diberikan kepada investor, tetapi tidak berhasil karena warga masyarakat mengusir setiap kali orang-orang BP Batam datang ke Rempang.

Tanggal 23 Agustus 2023, seluruh warga masyarakat Rempang dan pulau-pulau sekitarnya dengan 6.000 massa menggelar Aksi Unjuk Rasa MENOLAK RELOKASI. 

Warga Rempang tidak menolak masuknya investasi jika memang negara membutuhkan investasi tersebut, mereka hanya menolak DIGUSUR dari tanah leluhurnya. Mereka menolak dipindahkan dari kampung-kampung tua yang sudah mereka huni sejak 300 tahun yang lalu secara turun temurun.

Aksi Unjuk Rasa dengan 6.000 warga tidak mendapat tanggapan dari Kepala BP Batam (H.M. RUDI) dengan alasan bahwa ini perintah Presiden karena ini proyek pemerintah pusat.

Pada tanggal 7 September 2023, 1.000 personil gabungan POLRI, TNI, SATPOL PP, dipimpin oleh Kapolresta Barelang “memaksa masuk” ke Pulau Rempang untuk memasang patok lahan investor. Seluruh warga masyarakat bertahan di Jembatan IV, satu-satunya akses jalan masuk ke Pulau Rempang. Di sini terjadi insiden antara aparat dengan warga, puluhan warga mengalami luka-luka akibat pukulan dan tindak kekerasan aparat, dan dilarikan ke rumah sakit. Juga termasuk anak-anak sekolah, bahkan seorang bayi yang menjadi korban gas air mata yang ditembakkan aparat secara membabi buta.

Hari itu warga Rempang berduka, usaha dan perjuangan mereka mempertahankan kampung halaman nenek moyang mereka GAGAL. Sekarang mereka tidak tahu harus ke mana.

Relokasi yang dijanjikan BP Batam sampai hari ini belum jelas bahkan sama sekali belum ada, karena sarana prasarana relokasi pun sama sekali belum dibangun. Kemana 5.000 jiwa penduduk ini akan melanjutkan hidup dan kehidupan mereka?

Sementara itu Presiden Jokowi telah mengeluarkan Instruksi kepada BP Batam dan Aparat Keamanan bahwa tanggal 28 September 2023, Pulau Rempang HARUS DIKOSONGKAN UNTUK DIMULAINYA PEMBANGUNAN INVESTASI “REMPANG ECO CITY”.

Tanggal 11 September 2023, kembali warga menggelar Aksi MENOLAK RELOKASI,  yang mengakibatkan lebih 30 orang warga Rempang dan Peserta Aksi saat ini sedang ditahan di Mapolresta Barelang dan Mapolda Kepri.

Sekarang ini seluruh Masyarakat Melayu dari seluruh daerah di Indonesia seperti Riau, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sumatera Utara dan lainnya bahkan juga warga dari wilayah-wilayah lain sudah menyatakan dukungan kepada Warga Rempang.

D. NEGARA TELAH MELANGGAR KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA.

Di dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa Negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Dalam kasus Pulau Rempang, penguasa negara sudah mengabaikan Amanah Konstitusi tersebut. 

Selain itu penguasa Negara juga sudah melakukan penindasan dan pelanggaran HAM warga negara sendiri, yakni penduduk Pulau Rempang. Negara telah melanggar hak warga untuk bertempat tinggal, hak untuk bermata pencaharian, hak atas kesejahteraan lahir dan batin, hak atas pelayanan kesehatan dan  hak untuk mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak generasi penerus.

Sejak pertengahan Agustus 2023, pelayanan kesehatan di Puskesmas Rempang sudah dihentikan, sekolah-sekolah negeri sudah dipindahkan. Hal ini dilakukan BP Batam dan Pemko Batam untuk memaksa warga Rempang meninggalkan kampung halaman mereka, dan menyetujui Relokasi. 

Sungguh Negara Indonesia sedang melakukan pemaksaan dan penindasan terhadap warga Rempang, bahkan secara tidak langsung negara telah membunuh kehidupan dan masa  depan warga Rempang.(*)

Pekanbaru, 13 September 2023.

Hj. Azlaini Agus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.