Kejaksaan Agung Harus Serius Ungkap Kasus Proyek Fiktif Rp 1,7 Triliun Anak Usaha Telkom

oleh

JAKARTA – Kejaksaan Agung Bidang Pidana Khusus (Pidsus) harus serius dan cepat mengungkap praktek perampokan uang negara melalui anak cucu usaha BUMN, dalam hal ini anak dan cucu usaha PT Telkom (Persero) Tbk.

“Padahal ini modus lama, lagi pula sudah telajang fakta dugaan proyek fiktif terungkap, tanpa bermaksud mengajari bebek berenang, kami yakin jika penyidik mau, sangat mudah bagi Pidsus Kejagung membuat terang benderang konstruksi pidana korupsinya,” ungkap Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, Senin (10/4/2023) di Jakarta.

Apalagi, kata Yusri, Kejaksaan Agung saat ini sedang mengungkap pemeriksaan kasus dugaan korupsi di PT Graha Telkom Sigma (GTS). Perusahaan tersebut merupakan anak usaha dari PT Sigma Cipta Caraka (Telkom Sigma).

“Kejagung mengungkapkan bahwa kasus korupsi tersebut terkait proyek pengerjaan apartemen, perumahan, hotel dan penyediaan batu split oleh PT GSI pada periode 2017-2018. Total sementara kerugian negara diperkirakan mencapai Rp354.335.416.262. Modus korupsi dengan cara membuat akal-akalan proyek seolah berjalan dan dibangun bentuk fisiknya, namun pada faktanya hanya proyek fiktif,” beber Yusri.

Dikatakan Yusri, mengingat Bahktiar Rasyidi yang merupakan mantan Direktur Keuangan PT Sigma Caraka sudah mengungkap adanya proyek fiktif di PT Telkom senilai Rp 2,2 triliun pada tahun 2017 dan 2018 dan dia sudah pernah diperiksa sebagai saksi untuk kasus penyidikan korupsi PT GTS, maka sudah seharusnya penyidik Pidsus Kejaksaan Agung segera meningkatkan status dugaan proyek fiktif yang sudah merugikan PT Telkom Sigma Caraka Rp 1,7 triliun tersebut.

Dalam pengusutuan awal kasus ini, Kejagung telah memeriksa sejumlah saksi dari pihak Telkom Sigma sebagai pihak yang langsung menaungi PT GTS. Mereka adalah LM selaku Budgeting Head Keuangan, GFK selaku General Manager MA Keuangan, ES selaku Asset Keuangan, GW selaku Business Unit Head Keuangan dan BR selaku Direktur Keuangan.

Untuk nama yang terakhir disebut bisa dipastikan adalah Bakhtiar Rasyidi dan ia sudah tidak bekerja lagi di Telkom Sigma. Dia diketahui telah ajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 160/pdt.G/2023/PN jkt.pst/9/3/2023 yang dilayangkan pada Kamis (9/3/2023).

Ia menggugat Menteri BUMN Erick Thohir dan Direktur Utama Telkom Ririek Ardiansyah dalam dugaan proyek fiktif dan pemalsuan laporan keuangan atas proyek senilai Rp 2,2 triliun pada tahun 2017-2018.

Gugatan pun ditujukan untuk sembilan pihak lain, yakni Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Telkom Heri Supriadi, mantan Direktur Utama Telkom periode Desember 2014-Mei 2019 Alex Janangkih Sinaga, mantan Direktur Keuangan Telkom periode 2016-2020, Herry M. Zen dan pejabat eksekutif Telkom, Joko Aswanto.

Kemudian ada juga pihak swasta yang menjadi tergugat. Mereka adalah pihak PT Asiatel Global Indo, PT Linkadata Citra Mandiri, PT Telering Onix Pratama, PT Visiland Dharma Sarana, dan PT Wahana Ekonomi Semesta. Selain itu juga PT Bursa Efek Indonesia sebagai turut tergugat.

Dilansir dari beberapa media, sidang perdana digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis 30 Maret 2023. Kasman Sangaji kuasa hukum dari Bakhtiar Rosyidi menjelaskan kronologi adanya dugaan proyek fiktif di Telkom itu.

“Direktur Utama dan Direktur Keuangan Telkom meminta PT Sigma Cipta Caraka untuk melakukan pembayaran ke sejumlah perusahaan yang ditunjuk Telkom untuk pengadaan proyek dengan jumlah total sekitar Rp2,2 triliun di periode 2017 hingga 2018,” ujar Kasman.

“Tapi nyatanya proyek tersebut diduga fiktif, hingga kini proyek tersebut tidak kunjung ada. Sedangkan perusahaan dimana klien kami sebagai direktur keuangan yakni PT Sigma Cipta Caraka sudah membayarkan Rp2,2 triliun ke perusahaan yang ditunjuk Telkom itu,” kata Kasman ditemui usai sidang.

Kasman juga mengatakan, pihak Telkom sebenarnya sudah mengembalikan sebesar Rp 500 miliar ke PT Sigma Cipta Caraka, namun sisanya sebesar Rp1,7 triliun belum juga dibayarkan hingga saat ini. “Jadi ada duit Sigma yang belum kembali sebesar Rp1,7 triliun, kami belum bisa menggunakan istilah kerugian negara,” ujar Kasman.

Kasman menambahkan, istilah yang kami gunakan adalah finacing laporan keuangan. Apakah ini nanti merupakan kerugian negara, biar nanti aparat penegak hukum yang bicara. “Saat ini kami fokus digugatan perdata saja. Tetapi, tidak menutup kemungkinan jiika dibutuhkan oleh aparat penegak hukum, baik KPK maupun kejaksaan, kami siap berkolaborasi,” ujarnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.