KOTAK pandora terbuka, pamer harta kekayaan pegawai Kementerian Keuangan membuka aib khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
Harta kekayaan dengan jumlah tidak normal tersebut diduga diperoleh dari hasil korupsi penerimaan pajak yang dilakukan secara sistematis dan kolektif, secara bersama-sama. Hasil korupsi kemudian dibagi ke hampir semua orang di lingkungannya. Dari sidang Angin Prayitno disebutkan, 50 persen untuk direktur dan kepala subdirektorat, dan 50 persen untuk *tim* pemeriksa. Apakah masih berlaku?
Bagi-bagi hasil korupsi kolektif ini bisa berjalan lancar karena jumlah hasil korupsi sangat besar. Sehingga, meskipun dibagi untuk banyak orang, setiap orang masih mendapat bagian yang sangat besar.
PPATK sudah membekukan lebih dari 40 rekening milik Rafael Alun Trisambodo dan keluarga, dengan nilai transaksi tidak kurang dari Rp500 miliar. Rafael Alun adalah pegawai pajak eselon tiga, pemicu terbukanya kotak pandora harta kekayaan pegawai Kementerian Keuangan.
Kasus terus bergulir. Inspektorat Jenderal (Itjen) Pajak Kementerian Keuangan memanggil 69 pegawai DJP yang memiliki harta tidak wajar dan diduga terlibat tindak pidana pencucian uang.
Masalahnya, masyarakat tidak percaya dengan independensi Itjen Pajak. Kasus ini sudah lama terjadi, kenapa baru sekarang diperiksa? Itupun setelah mendapat laporan dari Mahfud MD, Menko Polhukam (Politik, Hukum, dan Keamanan).
Bola salju terus bergulir dan membesar. KPK mempelajari 134 profil pegawai pajak yang mempunyai saham di 128 perusahaan. Mereka juga diduga terlibat pencucian uang.
Puncaknya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan ada pergerakan uang mencurigakan sebesar Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan, sebagian besar di DJP dan DJBC. Rp300 triliun. Luar biasa.
Korupsi kolektif di lingkungan pajak (dan Bea dan Cukai) mencerminkan kegagalan Menteri Keuangan dalam mengamankan penerimaan negara.
Apakah karena itu, rasio penerimaan perpajakan (rasio pajak) terhadap PDB terus turun, dari 11,4 persen pada 2014 menjadi hanya 9,8 persen pada 2019.
Padahal, ketika diberlakukan UU pengampunan pajak 2016-2017, Kementerian Keuangan mengatakan rasio pajak akan naik menjadi 14,6 persen pada 2019. Ternyata gagal.
Selisih target (14,6 persen) dengan realisasi (9,8 persen) rasio pajak mencapai 4,8 persen atau sekitar Rp760 triliun (4,8 persen x PDB 2019 sebesar Rp15.834 triliun).
Berapa dari jumlah potensi penerimaan pajak ini yang bocor karena korupsi kolektif?
Akibat penurunan rasio pajak, rakyat kelompok menengah bawah menjadi korban. Untuk menaikkan rasio pajak yang diduga bocor karena dikorupsi, pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, serta memperluas barang kena pajak, termasuk kebutuhan bahan pokok.
Dampaknya, jumlah rakyat miskin naik 200.000 orang dalam waktu enam bulan, dari Maret 2022 hingga September 2022.
Di sisi lain, tugas pokok Menteri Keuangan adalah mengelola keuangan negara dan melaksanakan kebijakan fiskal dan APBN.
Menurut Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab *untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat*.”
Faktanya, rakyat malah dimiskinkan. Realisasi pendapatan negara 2022 naik Rp780,3 triliun dibandingkan pagu APBN 2022. Tetapi, realisasi belanja negara hanya naik Rp376,6 triliun saja. Hal ini membuat realisasi defisit APBN menjadi hanya Rp464,3 triliun, dari pagu defisit sebesar Rp868 triliun.
Artinya, ada dana APBN yang sudah disetujui DPR tetapi tidak dibelanjakan, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebaliknya, harga BBM subsidi dinaikkan pada 3 September 2022. Harga pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter. Harga solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter.
Alasan menaikkan harga BBM tersebut sangat menyakitkan. Alasannya, APBN akan jebol karena subsidi BBM mencapai Rp502 triliun. Faktanya, alasan ini tidak benar, hanya ilusi, alias bohong besar?
Dampaknya, jumlah rakyat miskin bertambah 200.000 orang seperti dijelaskan di atas.
Semua ini menunjukkan Menteri Keuangan gagal melaksanakan kebijakan fiskal dan APBN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya, Menteri Keuangan gagal memenuhi perintah konstitusi, yaitu APBN harus dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan kata lain, Menteri Keuangan melanggar konstitusi, pasal 23 ayat (1).
Karena itu, Menteri Keuangan wajib mundur. Tidak perlu sampai menunggu rakyat mendesak mundur.***
Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)