JAKARTA – Mencuatnya temuan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait kelebihan alokasi ekspor batubara PT MHU sebanyak 8,2 juta metrik ton, merupakan persoalan serius dan bisa berpotensi merugikan negara serta harus segera disikapi oleh semua penegak hukum.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Senin (19/9/2022).
“Menyikapi jika benar rilis MAKI ini dengan angka detail penyimpangan kelebihan alokasi ekspor batubara PT MHU sekitar 8,2 juta metrik ton yang negara dirugikan Rp 9,3 triliun, ini persoalan cukup serius, itu baru satu perusahaan, bagaimana jika terjadi pada puluhan perusahan batubara yang melakukan total ekspor 600 juta metrik ton pada tahun 2021?,” ungkap Yusri.
Oleh sebab itu, kata Yusri, haram hukumnya jika penegak hukum dan BPK RI tidak aktif menelisik kerugian negara berdasarkan data yang diungkapkan oleh MAKI tersebut.
“Mestinya segera harus dilakukan audit forensik untuk semua proses di Ditjen Minerba, jika kita serius mau mencegah kebocoran penerimaan negara” ungkap Yusri.
Audit forensik tersebut menurut Yusri harus dilakukan mulai dari proses pengurusan IUP eksplorasi, kemudian peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi, dilanjutkan proses persetujuan RKAB dan izin lingkungan serta realisasi DMO dan rekomendasi ekspor yang dari awal sampai dengan akhir, termasuk perpanjangan ijin KK menjadi IUPK untuk batu bara maupun mineral.
Tahapan proses itu kata Yusri, memang merupakan ‘lahan basah’, sangat bisa disalahgunakan oleh oknum pejabat di Ditjen Minerba.
“Laporan MAKI tersebut jika benar, itu sama saja mengkonfirmasi fungsi Irjen Kementerian ESDM sudah impoten dan Korsup KPK di sektor Minerba telah gagal menyelamatkan atau mencegah kerugian penerimaan negara dari pajak maupun non pajak, karena data produksi itu merupakan data utama dan data dasar untuk menghitung semua kewajiban bagi negara,” kata Yusri.
Apalagi, kata Yusri, temuan MAKI itu juga menyebut-nyebut inisial DO sebagai penanggung jawab pengelola MOMS atau operator IT yang bisa merubah data di SIMPONI dan MODI, itu sudah seperti berburu di kebun binatang bagi penegak hukum yang serius mau menyikapinya.
Yusri juga meminta untuk ditelisik apa faktor penyebab masih ada ratusan penambang hingga September 2022 yang sudah memiliki IUP OP dan telah mengajukan pengesahan RKAB di Ditjen Minerba belum disetujui, ini kacau benar bagi pengusaha yang serius menambang jika dikenakan kewajiban harus ada persetujuan oleh CPI (Competent Person Indonesia) yang dikordinir oleh IAGI dan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI).
Selain itu, kata Yusri, penegak hukum juga harus bisa menelisik hingga praktek “transfer pricing” dalam ekspor ini.
“Untuk kasus ini merupakan pertaruhan integritas lembaga penegak hukum yang akan diuji oleh publik apakah mampu melawan oligarkhi batubara dan mineral yang konon kabarnya sering melakukan praktek kecurangan dalam ekspor batubara dan mineral lainnya?,” kata Yusri.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, kejadian yang dilaporkan MAKI tersebut terjadi pada tahun 2021, sebelum ada rangkap jabatan Dirjen Minerba atau ‘matahari kembar’ di Ditjen Minerba. “Jika di tahun 2022 apa tidak lebih parah?,” kata Yusri.
Sebelumnya, pada 2019 lalu, Yusri mengatakan sudah membeberkan adanya indikasi transfer pricing perusahaan batubara nakal.
KPK diyakini Yusri kala itu, memiliki dasar kuat mengapa curiga ada indikasi praktek “Transfer Pricing” dalam ekspor mineral dan batubara yang dilakukan oleh pengusaha yang nakal tentu tujuannya adalah menghidari kewajiban membayar pajak yang wajar kepada negara.
“Ada potensi kerugian negara setiap tahunnya dari total produksi nasional sekitar 450 juta metrik ton, maka ada sekitar 300 juta metrik ton batubara di ekspor setiap tahunnya, kalau asumsi yang pesimis ada pengusaha mengakali royalti dan pajak hanya USD 2 permetrik ton, maka ada potensi kerugian negara USD 2 X 300 juta metrik ton = USD 600 juta setiap tahunnya, kalau dikurs rupiah menjadi sekitar Rp8,4 triliun,” jelas Yusri kala itu.
Upaya KPK saat itu, menurut Yusri, tujuannya hanya untuk menjaga kepentingan nasional dari sektor penerimaan negara agar tidak bocor. Ia mengajak semua pihak mendukung upaya KPK dalam menertibkan sektor ini, tetapi sekarang kenapa kendor KPK ya ?.
Sementara itu, dilansir situs Dinas ESDM Banten pada 22 Maret 2016, Pemerintah Pusat telah mengupayakan penyeragaman penyetoran iuran tetap, royalti dan penjualan hasil tambang bagi para pengusaha pertambangan pemilik izin Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ingin membayarkan atau menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui langkah-langkah yang sederhana, murah, dan setoran langsung masuk tercatat ke Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan RI. Sebut saja kemudahan penyetoran PNBP itu menggunakan aplikasi Sistem Informasi PNBP Online atau disingkat SIMPONI.(*)