JAKARTA – Masyarakat kembali mesti mengantre untuk membeli bahan bakar minyak di SPBU di sejumlah daerah di Indonesia. Keadaan ini, terus berulang dan merupakan akibat dari proses bisnis di Pertamina yang tidak efisien. Inefisiensi tersebut terjadi merata di sektor hulu hingga hilir kegiatan Migas.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, Kamis (11/8/2022) di Jakarta.
“Antrean BBM di SPBU ini merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan di bidang Migas, termasuk kebijakan Pertamina sendiri. Untuk persoalan BBM ini, ini kan merupakan sektor hilir di Migas kita. Sebelumnya sudah digandang-gadang tentang program digitalisasi SPBU. Tapi, hasilnya seperti yang kita lihat hari ini,” ungkap Yusri.
Yusri mengatakan, PT Telkom harus diminta pertanggungjawaban terkait Proyek Digitalisasi SPBU dengan nilai invetasi Rp 3,6 Triliun.
“Proyek ini dirancang sejak awal agar bisa mengendalikan peredaran BBM subsidi dan penugasan bisa tepat sasaran. Jika kuota subsidi jebol, menurut saya proyek digitalisasi gagal total. Padahal Pertamina dibebankan harus bayar ke PT Telkom Rp 15,25 perliter untuk setiap minyak yang keluar dari dispenser pada total sebanyak 5.528 SPBU diseluruh Indonesia” beber Yusri.
Apalagi, Proyek Digitalisasi SPBU itu menurutnya diresmikan oleh Menteri ESDM awal tahun 2020. “Dan pada proyek ini, Pertamina harus membayar kepada PT Telkom selama lima tahun dalam kontraknya,” kata Yusri.
Terkait pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang meminta Pertamina mengendalikan BBM subsidi, menurut Yusri terkesan Sri Mulyani buang badan begitu bermasalah di lapangan.
“Pemerintah juga seharusnya cepat bayar kewajiban biaya subsidi ke Pertamina agar cash flow tidak berdarah-darah. Tindak tegas perusahaan tambang dan perkebunan yang minum biosolar. Sekarang malah terkesan aparat penegak hukum malah melempem,” ulas Yusri.
Terkait kosongnya BBM di SPBU, menurut Yusri jika Proyek Digitalisasi SPBU berfungsi, maka omong kosong ada tulisan di SPBU bahwa BBM dalam perjalanan alias OTW.
“Karena Digitalisasi itu secara real time langsung mengiinformasikan ke setiap depo dan MOR setiap daerah bahwa cadangan BBM di SPBU sudah menipis, bahkan jika Digitalisasi berfungsi maka Pertamina Pusat, Kementerian ESDM dan BPH Migas secara real time bisa memantau kondisi seluruh kebutuhan dan distribusi BBM Pertamina, tak mungkin bisa terjadi over kuota BBM Subsidi” kata Yusri.
Saya sendiri mengalami kejadian di SPBU Pertamina Fatmawati Jakarta pada hari Rabu 10/8/2022, Pertalite dan Pertamax 92 kosong, kita dipaksa beli Pertamax Turbo, ogah karena kejadian ini Pertamina telah secara nyata telah melanggar Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014, karena sudah merupakan kewajiban Pertamina menyediakan segala jenis BBM harus tersedia untuk semua konsumen”, ketus Yusri.
Lebih lanjut Yusri membeberkan, persoalan ketersediaan BBM di SPBU yang merupakan urusan sektor hilir itu, terkait langsung juga dengan sektor hulu sebagai penyedia bahan minyak mentah.
Yusri mengatakan, pihaknya tidak percaya pada pernyataan Corsec PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting yang menyatakan bahwa stok BBM di depo cukup untuk 21 hari.
“Saya curiga saat ini dengan adanya kelangkaan Pertalite di banyak daerah, stok BBM nasional di bawah 7 hari. Semua karena Pemerintah tak membayar penugasan kepada Pertamina, disaat harga minyak dunia tinggi, maka wajar cash flow Pertamina berdarah darah”, kata Yusri.
Dibeberkan Yusri, belanja produk BBM yang diimpor oleh ISC (Integrated Supply Chain) Pertamina Patra Niaga setiap hari adalah sebanyak 2 kargo atau setara 400.000 barel dari Singapore. Jika dihitung sebulan, maka jumlahnya sekitar 12 juta barel yang di import.
“Impor ini menambal kekurangan serapan produk BBM dari PT Kilang Pertamina International, karena konsumsi BBM nasional katanya 1.5 juta barel perhari, sementara kapasitas kilang hanya 1.1 juta barel perhari, tidak mungkin maksimal kapasitas yang digunakan, hanya 90% dari total kapasitas, sekitar 950.000 barel perhari produk BBM dari kilang Pertamina” jelas Yusri.
Lebih kanjut Yusri mengutarakan, PT Kilang Pertamina belanja minyak mentah dalam negeri hanya 560.000 barel perhari atau sekitar 91% dari lifting minyak nasional 616.000 barel perhari. Kekurangannya untuk kebutuhan kapasitas kilang terpaksa impor minyak mentah sekitar 400.000 barel perhari atau sebanyak dua kargo.
“Cilakanya, sejak struktur Holding Subholding terbentuk, fungsi ISC telah dipecah mengikuti masing-masing subholding di bawah kendali Direktur Logistik Dan Infrastruktur Holding, Mulyono. Jadi ISC kembali ke sistem lama sebelum ISC dibentuk oleh Arie Sumarno pada September 2008. Potensi inefisiensinya sangat tinggi,” tukas Yusri.
Gilanya lagi, lanjut Yusri, sistem tender di ISC Kilang menyebutkan minyak mentah nama negara.
“Di dunia hanya Pertamina yang melakukan hal ini. Harusnya spesifikasi minyak mentah yang disyaratkan dalam tender. Karena kilang sesuai kehandalan bisa mengolah minyak mentah sesuai spesifikasinya, bukan negaranya,” beber Yusri.
Karena menyebut minyak mentah West Africa Crude, Asia Crude dan Middle East Crude dalam tendernya, lanjut Yusri, maka kondisi itu diduga sudah diijon oleh traders klas dunia seperti Travigura, Vitol dan Glencore. “Kecuali kilang Cilacap memang ada kontrak panjang dengan Saudi Aramco,” beber Yusri.
Pola seperti itu, kata Yusri, berpotensi Pertamina membayar harga pembelian minyak mentah kemahalan sekitar USD 2 hingga USD 5 perbarel, hal ini sudah lama disuarakan, mengapa Pertamina tidak memperbaikinya patut dicurigai untuk kepentingan oknum oknum pejabat terkait. (CERI)