Kekonyolan UU Minerba Dinilai Picu Maraknya Tambang Ilegal di Indonesia

oleh

JAKARTA – Hampir dapat dipastikan sejak Undang Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 disetujui DPR RI pada 12 Mei 2020, hingga saat ini ada sekitar 70% material bangunan berupa pasir dan batu (Sirtu) serta tanah urug untuk kebutuhan proyek pembangunan fisik infrastruktur pemerintah dan swasta berasal dari penambangan tanah ilegal.

Semakin maraknya operasi penambangan ilegal bisa terjadi karena kebutuhan besar dari kegiatan proyek strategis nasional tanpa disertai kemudahan memperoleh izin akibat regulasi yang ada, sehingga menjadi lahan ATM oknum APH.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman kepada wartawan, Minggu (6/2/2022) di Jakarta.

“Material ilegal itu dipasok dan digunakan untuk kebutuhan pembangunan jalan tol, proyek bendungan, gedung perkantoran, pembangunan kawasan perumahan, pelabuhan laut dan udara serta lainnya, termasuk digunakan untuk kegiatan operasi Migas, yaitu tanah urug untuk kebutuhan lokasi tapak bor atau well pad,” ungkap Yusri.

Adapun 30% pasokan material legal itu, kata Yusri, adalah berasal dari Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang waktunya masih berlak, yang merupakan sisa dari produk Undang Undang Minerba Nomor 4 tahun 2009.

Berita Terkait :   Mengapa Dirjen Minerba Memblokir Pesan Whatsapp Direktur CERI?

“Sebab itu, produk UU Minerba terbaru yang sejak awal kelahirannya sudah kontroversial, ditenggarai hanya untuk menyelamatkan para taipan batubara pemilik tambang PKP2B daripada membenahi tata kelola berkelanjutan pertambangan nasional. Bahkan, Koalisi Masyarakat Peduli Pengelolaan Sumber Daya Alam menduga kebijakan itu berpotensi merugikan rakyat dan lingkungan hidup serta penerimaan negara dan pajak daerah penghasil,” lanjut Yusri.

“Contoh nyata dan kasat mata akibat lainnya, kita menyaksikan bersama ketika PLN mengalami krisis pasokan batubara sebagai energi primernya karena pelanggaran DMO oleh produsen batubara nasional,” sambung Yusri.

Menurut Yusri, meskipun Ketua Komisi VII DPR RI saat itu mengatakan bahwa perubahan UU Minerba ini tujuannya untuk menyesuaikan dengan UU Cilaka Nomor 11 tahun 2020, yaitu soal kewenangan pengelolaan Minerba, soal penyesuaian nomenklatur perizinan dan soal divestasi saham. “Namun, faktanya kita bisa menyaksikan saat ini banyak penyimpangan telah terjadi,” kata Yusri.

Yusri menjelaskan, sengkarut material ilegal ini jelaslah disebabkan UU Minerba terbaru yang telah mencabut kewenangan daerah yang dimiliki Gubernur dan Bupati atau Walikota yang sebelumnya boleh menerbitkan izin pertambangan rakyat, termasuk melakukan pembinaan serta pengawasan.

Berita Terkait :   Ada Apa Menteri ESDM Mendadak Menggeser Pejabat Ditjen Minerba Ke Dewan Energi Nasional?

“Konyolnya lagi, izin pertambangan rakyat luasnya yang satu hektar pun, yang berada jauh di pelosok desa yang dulu bisa dilaksanakan cukup atas ijin dari camat setelah mendapat delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota, sekarang harus dengan mengurus izin pertambangan ke Jakarta, karena izinnya diterbitkan oleh Menteri ESDM atau melalui Menteri Investasi dan Kepala BKPM,” ulas Yusri.

Lalu, lanjut Yusri, Menteri ESDM baru saja mengusulkan Wilayah Pertambangan Nasional (WPN) dari 10 provinsi kepada Komisi VII DPR RI pada 13 Januari 2022 untuk ditetapkan. Penetapan WPN ini menjadi dasar Menteri ESDM bisa memberikan izin pertambangan Minerba, akibat adanya penerbitan izin baru sebelum WPN ditetapkan yang patut dipersoalkan legalitasnya.

“Meskipun secara teoritis pengurusan izin berbasis resiko itu bisa dilakukan dengan sistem Online Singel Submission (OSS), namun dalam prakteknya, Surat Izin Pertambangan Batuan (SIPB) susah diperoleh oleh rakyat kecil jika tak punya hubungan khusus dengan jajaran pemberi izin,” kata Yusri.

Hingga saat ini, lanjut Yusri, turunan dari UU Minerba baru ada Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Minerba dan Permen ESDM Nomor 7 tahun 2020 tentang Tata cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Pertambangan Minerba.

Berita Terkait :   Menteri Bahlil Ceroboh dan Melawan Hukum Telah Menghidupkan Izin Tambang Sudah Mati di Aceh

“Sementara Peraturan Presiden yang mengatur pendelegasian wewenang Menteri ESDM kepada Gubernur dan Bupati serta Walikota soal izin pertambangan rakyat yang sudah lama dijanjikan pemerintah hingga kini tak jelas wujudnya,” ungkap Yusri.

Akibatnya, kata Yusri, jika melihat aktifitas kantor Dinas Energi Sumber Daya Mineral di setiap Provinsi, sudah seperti kerakap tumbuh di batu. Hidup segan mati pun tak mau. Hal itu lantaran kewenangan pengawasan aktifitas pertambangan yang selama ini mereka miliki, termasuk kewenangan yang ditarik ke pusat.

“Ironisnya, IUP yang baru diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Kepala BKPM, tidak pula diinformasikan ke mereka,” kata Yusri.

Yusri menegaskan, Inspektur Tambang yang merupakan kepanjagan tangan Kementerian ESDM untuk mengawasi aktifitas pertambangan di daerah-daerah, tampaknya tak efektif alias loyo, sehingga aktifitas pertambangan ilegal semakin marak di daerah-daerah akibat ketidakjelasan produk UU Minerba.(hen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.