JAKARTA, CERINEWS.ID – Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Bahkan, Founding Father negara Indonesia, Ir. Sukarno dalam sebuah kesempatan pernah berkata, Indonesia adalah Negara Lautan yang ditaburi oleh Pulau-pulau. Dan, Sang Proklamator sudah sangat lama mengatakan hal tersebut, tapi dilalahnya kita sebagai bangsa malah memilih untuk berkata, Indonesia adalah negara agraris.
Indonesia memiliki 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas sampai Rote, dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer per segi. Dari total luas wilayah tersebut 3,25 juta kilometer per segi adalah lautan dan hanya sekitar 2,01 juta kilometer per segi berupa daratan.
“Oleh sebab itu sebagai warga negara, kita perlu menyadari peran penting Maritim dalam segala aspek kehidupan Bangsa Indonesia, terutama kita fokuskan pada aspek energinya,” ungkap Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, salah satu Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) saat menjadi narasumber di webinar Festival Bisnis dan Investasi (FBI) yang diselenggarakan Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Indonesia, di Jakarta, Selasa (20/9/2021).
Capt. Hakeng, begitu sapaannya, dalam webinar tersebut mengemukakan Bisnis dan Investasi Energi Indonesia Dalam Sudut Pandang Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI). Dia mengungkapkan pentingnya kedaulatan energi yang tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan peran penting Maritim di dalamnya dikarenakan memang letak geografis negara Indonesia.
“Pengertian kedaulatan energi dikaitkan dengan negara berdaulat adalah penguasaan wilayah secara eksklusif, dimana ada tiga macam kedaulatan yaitu kedaulatan energi, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan pangan. Menurut pandangan kami, tidak akan pernah lepas dari Maritim. Harusnya tidak bisa kita berbicara mengenai kedaulatan energi, ekonomi maupun pangan tanpa berbicara mengenai maritim di dalamnya,” papar Capt. Hakeng.
Lebih lanjut dia menyebutkan, pengertian kedaulatan adalah hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, dimana ada tiga tingkatan sebetulnya, yaitu kedaulatan, ketahanan dan terakhir adalah kemandirian energi.
“Jadi jika kita semua selama ini selalu terfokus pada menciptakan kedaulatan energi, sebetulnya kita lupa bahwa holistiknya adalah kita ingin mandiri dalam pemenuhan energi kita,” ujarnya.
Akan tetapi menurut Capt. Hakeng seringkali terjadi kesalahan mendasar dari pola pikir kita, dimana kita sudah merasa ini merupakan pilihan terbaik dari teori-teori terbaik yang sudah ada. “Kita sudah refer kepada contoh-contoh succes story negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang berhasil. Satu hal yang mereka lupa. Kita ini negara Indonesia, Bangsa Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara tersebut,” tambahnya.
“Kita ini Bangsa Maritim. Bangsa Maritim itu bukan sekadar Bangsa yang pandai menyanyikan Nenek Moyangku adalah seorang Pelaut tanpa tahu makna dan faedahnya,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut Capt. Hakeng menegaskan, Bangsa Maritim adalah Bangsa yang mengetahui 67% dari seluruh wilayahnya adalah air. Bangsa yang tahu bahwa negaranya terdiri dari 17.499 pulau. Dan, pulau-pulau tersebut tersebar ke seluruh pelosok negeri. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
“Segera ubah pola pikir kita. Kita ini memang sebuah bangsa besar yang benar-benar berbeda. Kita adalah negara Maritim, kita adalah bangsa Maritim. Karenanya semua pola bisnis guna menciptakan kedaulatan Energi bagi bangsa, harus menyertakan kapal-kapal serta para pelaut di dalamnya,” tegasnya.
Capt. Hakeng menyebutkan untuk mencapai kedaulatan energi perlu dipikirkan secara matang mengenai roadmapnya. Dia mengambil contoh daerah Wayame dan Saumlaki. “Dari sini saya bisa menceritakan betapa Jarak Wayame ke Saumlaki sejauh 650 km, hampir sama dengan jarak Jakarta ke Surabaya, mau pakai apa untuk menciptakan kedaulatan energi disana?” tanyanya.
“Pakai kabel laut dikirim listriknya dari Wayame? Sudah jaraknya 650 km, lalu kedalaman lautnya pun bisa mencapai 3 ribu meter lebih. Mau diusahakan sendiri saja dengan membuat pembangkit listrik Mandiri? Tidak akan mudah dan pastinya secara kajian keekonomian sangat sulit. Karena penduduknya hanya ada sekitar 8000 jiwa. Satu-satunya alternatif yang masuk akal saat ini adalah dengan mengirimkannya melalui kapal-kapal,” jelasnya.
Oleh sebab itu Capt. Hakeng sebagai insan maritim dan yang juga sangat konsen kepada energi mengajak semua lapisan masyarakat untuk bisa merenung kembali. Apakah sudah tepat dasar berpikir yang kita ambil? Apakah sudah tepat Roadmap terkait kedaulatan energi yang kita susun?
“Jangan pernah lupa. Kita Bangsa Maritim. Jadikan itu salah satu landasan berpikir kita, karena sekali kita salah melangkah, sulit kita mengejar kembali ketertinggalan kita. Saya merasa optimis, dengan terbukanya ruang berpikir dari para cendekia muda yang tergabung dalam DEM yang berkumpul di sini, masa depan Indonesia sebagai Bangsa Maritim bisa lebih terarah,” pungkasnya.(hen)