Peran Intelijen Di Negeri Sendiri Sebagai Problem Solving Bukan Problem Taking

oleh
Ilustrasi.

JAKARTA – Pemerhati Intelijen Sri Radjasa MBA kembali mengingatkan bahwa era orde baru meninggalkan legacy intelijen, dengan stigma sebagai alat represif penguasa terhadap kelompok oposisi dan menyebar teror untuk menciptakan rasa takut publik. 

“Kekuasaan orde baru, telah memfasilitasi kewenangan intelijen tanpa batas. Institusi intelijen negara, tumbuh menjadi super body yang bekerja berdasarkan pesanan penguasa saat itu,” ungkap Sri Radjasa, Rabu (2/4/2025). 

Pada era orde baru, kata Sri Radjasa, berkembang ungkapan anekdot “jarum jatuh saja, intelijen cepat mengetahuinya”, begitulah menggambarkan kedigjayaan intelijen, di bawah rezim otoriter.

“Seiring dengan perubahan lanskap panggung politik nasional, dengan mengusung konsep reformasi, membuka harapan baru tampilnya performan intelijen, sebagai pilar utama keamanan nasional yang parallel dengan prinsip demokrasi, transparansi dan akuntabel, melalui proses reformasi intelijen,” beber Sri Radjasa:

Dijelaskan Sri Radjasa, program besar reformasi intelijen negara, harus berpedoman pada karakteristik intelijen yang independen dan berpedoman pada kepentingan politik negara. 

“Dihadapkan oleh perubahan besar politik, ekonomi dan keamanan global yang tidak lagi menganut konsep bipolar, telah merubah potensi ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia,” kata Sri Radjasa.

Hal ini, lanjut Sri Radjasa, tentunya menuntut intelijen Indonesia, sebagai pengemban fungsi deteksi dan cegah dini, mampu mengidentifikasi kerawanan dan ancaman terhadap kewibawaan kedaulatan negara secara professional, tanpa mengurangi prinsip-prinsip bekerja dalam diam.

“Paska 27 tahun perjalanan panjang reformasi, cita-cita reformasi memang belum mati, tapi reformasi hidup di lingkungan yang sama sekali bukan habitatnya. Begitu pula wajah intelijen negara yang bopeng terjangkit virus “politik ugal-ugalan”, akibat pandemi selama rezim Jokowi,” ungkap Sri Radjasa.

Menurut Sri Radjasa, alih-alih menjalankan fungsi deteksi dan cegah dini, intelijen negara asik memainkan peran sebagai eksekutor dan menjadi algojo bagi kepentingan partai politik tertentu. Bahkan intelijen negara mengalami kegamangan, pada pesta demokrasi yang baru lalu, akibat tarik-menarik kekuatan politik papan atas.

“Menarik untuk disampaikan bahwa intelijen memiliki kekhasan tersendiri, jangan diartikan intelijen bagian dari militer atau polisi. Oleh sebab itu jika karakter intelijen yang independen dirusak oleh kepentingan politik, maka Indonesia kehilangan imunitas terhadap kerawanan dan ancaman yang semakin kompleks,” beber Sri Radjasa.

Pengalaman Amerika Serikat, ulas Sri Radjasa, bagaimana intelijen mengemban kepentingan politik negara, terlihat ketika intelijen berperan untuk menumbangkan paslon partai demokrat Gary Warren Hart yang digadang-gadang calon kuat presiden AS pada pilpres 1988, mengingat masih ada kepentingan vital AS yang harus diemban oleh incumben Goerge Bush sebagai pesaing dari partai Republic. 

“Intelijen sebagai pilar utama keamanan nasional, harus mampu menjadi senjata pamungkas demi kepentingan negara. Tidak sebaliknya intelijen yang seharusnya menjadi problem solving malah asik menjadi problem taking,” pungkas Sri Radjasa.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.