PEKANBARU – Langkah pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2006 tentang Besaran Dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan Dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak Dan Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dipandang seharusnya memberikan insentif atau kemudahan menjalankan usaha untuk kilang swasta dan lebih mendukung hilirisasi sehingga diharapkan muncul banyak kilang-kilang mini di seluruh tanah air, bukan sebaliknya.
“Apalagi kita tahu bahwa kilang minyak Pertamina kapasitasnya terbatas, maksimal hanya sekitar 1,075 juta barel per hari, namun efektif memproduksi BBM hanya pada kisaran 900 ribu barel per hari. Sementara konsumsi BBM nasional sudah mencapai 1,5 juta barel per hari dan terus bertambah sesuai pertumbuhan ekonomi. Keberadaan kilang-kilang mini swasta ini tentu menjadi terobosan bagus dan harus didukung penuh” ungkap Sekretaris Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Hengki Seprihadi, Minggu (7/7/2024).
Lebih lanjut Hengki mengatakan, Presiden Jokowi di awal masa pemerintahannya saja telah mengeluarkan Perpres Nomor 146 Tahun 2015 tentang tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri.
“Sehingga sekarang tentu saja menjadi aneh jika BPH Migas malah meminta BPKP melakukan pemeriksaan terhadap PT Tri Wahana Universal (TWU) atas tagihan iuran yang sesuai peraturan tak semestinya dibayar oleh perusahaan swasta itu. Sementara Kilang Pertamina saja telah membuat sinergi dengan kilang-kilang mini termasuk TWU, karena memang mereka sadar kilang mini bisa mendukung ketahanan energi nasional,” ungkap Hengki.
“Kami meduga ada mafia yang suka impor BBM yang mempengaruhi oknum BPH Migas untuk menarik iuran dari kilang mini. Jika iuran diterapkan maka biaya pokok produksi (BPP) pengolahan di kilang menjadi tinggi, akibatnya harga BBM yang dijual lebih mahal yang tentunya pada akhirnya akan membenani masyarakat luas, berujung investor mundur dengan alasan tidak ekonomis” lanjut Hengki.
Hengki mengatakan, jika memang ketentuan iuran terhadap PT TWU diberlakukan, maka seluruh kilang Pertamina juga wajib diberlakukan iuran ini. “Apa ini tidak kebijakan ngawur?” kata Hengki.
Hengki mengutarakan, sudah nyata bahwa kilang swasta ini punya kemampuan menyerap tenaga kerja, menambah pendapatan daerah dan bahkan berkontribusi untuk menjaga ketahanan energi nasional, termasuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan akibat semakin besarnya impor BBM.
“Makanya Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri itu, tak lain untuk meningkatkan produksi BBM dalam negeri melalui sinergi dengan kilang-kilang mini milik swasta dalam negeri,” ungkap Hengki.
Apalagi, kata Hengki, impor BBM yang masih besar sebagaimana diungkapkan Menteri ESDM baru baru ini, jika bisa dipenuhi dari pengolahan di kilang mini, tentu akan mengurangi defisit neraca transaksi berjalan Indonesia.
TWU Tak Punya Kewajiban Bayar Iuran
Sementara itu, terkait tagihan iuran dari BPH Migas kepada PT TWU tanggal 30 Juni 2015, Pendapat Hukum kantor Zoelfa & Partners pada tahun 2015 menyatakan bahwa PT TWU tidak memiliki kewajiban hukum untuk melakukan pembayaran iuran kepada Badan Pengatur (BPH Migas). Pendapat tersebut menjawab adanya tagihan iuran kepada PT TWU berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2006.
Setelah itu, tanpa ada kabar lagi dari BPH Migas tentang tagihan itu, tiba-tiba pada tanggal 7 Oktober 2022, BPH Migas mengirim surat kembali meminta BPKP untuk melaksanakan Pemeriksaan terhadap TWU atas iuran tersebut.
“Seharusnya, saat akan adanya revisi PP Nomor 1 Tahun 2006 menjadi PP Nomor 48 Tahun 2019 itu, Kementerian ESDM harusnya dalam proses harmonisasi antar kementerian aktif melindungi kepentingan siapa pun yang mau berinvestasi pada kilang minyak mini demi menjaga ketahanan energi nasional. Kenapa diam ? Kan bisa ditafsirkan macam-macam jadinya, dan itu memberatkan dan menyurutkan niat pengusaha mau berinvestasi di saat Pertamina juga tidak mampu memenuhi semua kebutuhan BBM nasional,” ungkap Hengki.
“Kami juga memberikan apresiasi kapada PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) yang telah menjalin sinergi dengan PT TWU dengan memberikan jaminan pasokan 15 ribu barel per hari selama 5 tahun plus 5 tahun,” imbuh Hengki.
Akhirnya, lanjut Hengki, atas perlakuan yang tidak bijak dari BPH Migas tersebut, PT TWU akhirnya telah menunjuk Prof DR H Yusril Ihza Mahendra SH MSc untuk mengajukan gugatan di PTUN Jakarta.
“Harapan kami PTUN Jakarta bisa mengabulkan gugatan PT TWU, sebab ini menyangkut ketahanan energi nasional dan kepentingan orang banyak,” pungkas Hengki. (*)