JAKARTA – Pembekuan sementara IUP Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) komoditi bijih besi PT Beri Mineral Utama (BMU) oleh Pemerintah Aceh dianggap kurang serius. Bahkan, pembekuan terhitung sejak 3 Agustus 2023 itu terkesan ecek-ecek.
Pembekuan sementara IUP OP PT BMU itu diberitakan media di Aceh. Pembekuan disebutkan dilakukan oleh Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPTSP) Aceh setelah menerima masukan tim terpadu dari provinsi. Tim terpadu provinsi antara lain tediri dari unsur Polda Aceh. Tim sebelumnya telah berkunjung melihat fakta lapangan dan bertemu tokoh masyarakat Kluet Tengah Aceh Selatan pada 25 Juli 2023.
“Kami anggap kurang serius karena selain PT BMU dalam prakteknya malah menambang emas bukan bijih besi, cilakanya ternyata hampir 90 persen luas lahannya masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Ini pelanggaran berat,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Kamis (10/9/2023) di Jakarta.
Harusnya, kata Yusri, Kadis ESDM Aceh Ir Mahdinur membatalkan persetujuan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) Nomor 540/299 tanggal 13 Maret 2023. Mahdinur lah yang menandatangani RKAB itu.
“Setelah pembatalan persetujuan RKAB itu lah seharusnya kemudian Inspektur Tambang Aceh merekomendasikan ke Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk mencabut IUP PT BMU dari aplikasi MODI dengan kode wilayah 3111012332014006,” lanjut Yusri.
Jika pencabutan IUP PT BMU tidak dilakukan, kata Yusri, maka wajar lah masyarakat Aceh menduga bahwa pejabat-pejabat diatas tersebut merupakan bagian dari perusahaan yang nyata melanggar UU itu.
“Apalagi setelah heboh soal pelanggaran ini, Kadis DLHK dan Kadis ESDM Aceh sudah tak mau lagi membuka pesan Whatsapps CERI, itu menjadi tanda tanya besar, ada apa ini,” ungkap Yusri.
Sehingga, lanjut Yusri, CERI menyatakan sangat sepakat dan mendukung penuh sikap Walhi Aceh dan elemen masyarakat sipil serta keputusan masyarakat Meunggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan pada 25 Juli 2023, agar pencabutan izin PT BMU harus permanen, bukan sementara.
“Selain itu, pihak Dinas ESDM Aceh harusnya juga segera mencairkan jaminan reklamasi atas nama PT BMU untuk digunakan memulihkan fungsi lingkungan hidup yang telah rusak akibat penambangan oleh PT BMU, bahkan pemilik tambang harus bertanggungjawab secara hukum,” tegas Yusri.
Sebab, kata Yusri, sejak lahir IUP OP Bijih Besi atas nama PT BMU, sudah cacat karena 90 persen lokasi tambang masuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).
“Jelas penerbitan IUP itu telah melanggar KEPPRES Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser dan Pasal 50 ayat 1 dan 2 dari UU nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” kata Yusri.
Menurut Yusri, pasal tersebut tegas mengatakan Pemerintah Pusat menugaskan Pemerintah Aceh melakukan perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
“Secara tegas pasal dari UU PA itu mengatakan, Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam KEL, apalagi untuk izin tambang, haram hukumnya,” kata Yusri.
Jadi, sambung Yusri, jelas dan terang benderang bahwa IUP PT BMU yang telah diterbitkan oleh Bupati Aceh Selatan dengan Nomor 52 Tahun 2012 pada 24 Januari 2012, dimana saat itu Bupati masih dijabat Husin Yusuf, jelas-jelas melanggar UU Pemerintah Aceh sendiri.
“Sehingga jika kemudian PT BMU yang hanya memiliki izin menambang bijih besi tetapi malah menambang komoditas emas, tentu telah menambah deretan UU yang dilanggarnya,” kata Yusri.
Pertanyaan sederhananya, kata Yusri, apakah semua pejabat dan aparat penegak hukum mulai dari provinsi hingga kabupaten tidak paham bahwa banyak UU telah dilanggar secara sengaja dalam beroperasinya tambang PT BMU tersebut?
“Kadis ESDM dan Kadis DLHK Aceh serta Inspektur Tambang secara UU adalah pihak paling bertanggungjawab atas telah terjadinya pelanggaran UU PA, UU Minerba dan UU Lingkungan Hidup serta UU Kehutanan oleh PT BMU,” pungkas Yusri.(*)