PLTGU Jawa-1 Bernilai Rp 28 Triliun Molor Beroperasi, Akibat Kegagalan Konsorsium Pertamina atau Kesalahan Perencanaan PLN?

oleh

JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atau BPKP dan aparat penegak hukum, mulai dari KPK, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, harus mau serius menelisik faktor penyebab di balik terlambat beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap ( PLTGU) Jawa 1.

“Seharusnya beroperasi secara komersial pada akhir tahun 2021, namun diprediksi bisa mundur hingga akhir 2023. Sebab, CERI sejak awal tender ini pun sudah mensyinalir proyek ini penuh dengan intrik dan intervensi oknum kekuasaan. CERI saat itu sudah pernah mempersoalkan di berbagai media, ada jejak digitalnya, yaitu 26 Juni 2016,” beber Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman di Jakarta, Senin (17/4/2023).

Dijelaskan Yusri, pembangunan PLTGU Jawa-1 senilai USD 1,8 miliar atau setara Rp 28 triliun, sejak Desember tahun 2018 mulai dikerjakan konstruksinya oleh Subholding PT Pertamina Power Indonesia (PT PPI) yang membentuk perusahaan patungan bernama PT Jawa Satu Power, dengan kepemilikan saham Pertamina 40 persen, Marubeni Corporation 40 persen dan Sojitz 20 persen. Dua perusahaan ini berasal dari Jepang.

“Sesuai kontrak, masa lifetime PLTGU ini adalah 25 tahun dan setelah masa kontrak berakhir, maka PLTGU ini diserahkan ke PLN melalui skema BOT, termasuk FSRU-nya. Adapun kontraktor EPC yang terpilih untuk membangun PLTGU Jawa 1 adalah konsorsium Samsung C&T dengan General Electric (GE) dan PT Meindo Elang Indah,” ungkap Yusri. 

PLTGU ini menurut Yusri lagi, terintegrasi dengan FSRU yang pertama dalam satu kontrak, di Asia bahkan di dunia, harganya pun sangat sangat kompetitif dan PLN berpotensi menghemat sebesar Rp 43 triliun, menurut Direktur Pengadaan Strategis PT PLN saat itu ketika masih dijabat Supangkat Iwan Santoso.

“Awalnya proyek ini dianggap menjadi mercusuar bagi bisnis Pertamina yang sudah menjadi perusahan energi bukan lagi perusahaan migas semata. Bahkan sejak awal proyek dimenangkan PT PPI dengan konsorsiumnya, menjadikan trend-setter baru bisnis infrastruktur dan energi, khususnya tarif listrik hanya USD 5,336 sen per KWH, telah memecahkan rule of thumb investasi Independent Power Producer (IPP) yang semula mencapai USD 1 juta per MW menjadi hanya USD 800.000 per MW,” jelas Yusri. 

Namun, kata Yusri, dalam perjalanannya tidak semulus seperti direncanakan akibat adanya konflik kepentingan menyertainya. Diduga telah terjadi upaya mark up nilai proyek, infonya hasilnya akan diberikan kepada oknum elit partai. 

“Untuk hal ini kami akan ungkap pada rilis mendatang, termasuk siapa mafianya dan modusnya,” kata Yusri. 

Menurut sumber CERI yang sangat terpercaya alias A1, kata Yusri, Dewan Direksi Pertamina sudah pernah mendapat informasi atas dugaan penyimpangan ini, tetapi tampaknya terkesan mengabaikannya.

“Entah apa penyebab mundurnya COD (Commercial Operation Date) itulah yang harus ditelisik, apakah akibat faktor kegagalan managerial, kesalahan tehnis dalam pembangunannya atau lantaran kesalahan perencanaan PLN dalam persentase bauran energi dalam RUPTL (Rencana Usaha Pembangkit Tenaga Listrik) hingga tahun 2015 -2024,” beber Yusri. 

Menurut Yusri, kegagalan ini tertolong oleh situasi oversupply-nya PLN dan hambatan supply LNG dari lapangan Tangguh,  sehingga kesimpulan sementara terkesan PLN yang bermasalah.

“Namun, apapun penyebab terlambatnya beroperasi PLTGU Jawa 1 ini, tetapi yang pasti IRR (Internal Rate of Return) proyek jatuh. Pada awalnya IRR proyek berada di atas “hurdle rate” yaitu minimal 11% yang merupakan batas baku investasi proyek setara IPP di Pertamina, namun terjun bebas menjadi  di bawah 6% alias masuk zona merah,” ungkap Yusri. 

Meskipun kondisi IRR ini sempat diselamatkan oleh Direksi lama PT PPI menjadi diatas WACC (Weighted Average Cost of Capital), atau sedikit diatas 8% dan masuk zona kuning, namun tetap masih di bawah hurdle rate dan  memerlukan resolusi khusus Dewan Direksi Pertamina, sehingga direksi PPI diminta untuk secepatnya mengembalikan IRR ke zona hijau, yaitu di atas hurdle rate. 

“Selesai dengan penanganan keekonomian proyek, perjalanan konsorsium Jawa-1 semakin tidak kompak, cost cutting yang dilakukan Dirut PT PPI saat itu berujung dengan pencopotan jabatannya. Dengan mundurnya COD Proyek (saat ini sudah 1 tahun 4 bulan) dan diperkirakan minimal 2 tahun molornya, sudah dapat dipastikan IRR proyek Jawa-1 jatuh lagi, kemungkinan ke Zona merah,” beber Yusri.

Sehingga, kata Yusri, Internal Audit Pertamina seharusnya sudah mempunyai kalkulasi dampak kemunduran proyek tersebut terhadap IRR proyek. Perlu dicatat, 24% dari total investasi Jawa-1 menggunakan equity loan dari Pertamina. Kondisi tersebut tentunya mengharuskan Direksi Pertamina melakukan resolusi baru. Sebuah keputusan untuk menutup proyek (cut-loss) atau melanjutkan proyek dengan IRR di zona merah.

“Ironisnya, PLTGU Jawa 1 belum dapat dipastikan juga kapan beroperasinya, tapi sudah ada upaya extension proyek  menjadi 2600 MW, konon kabarnya rencana ini sudah disetujui oleh PLN. Beredar kabar, akhir pekan kemaren infonya rombongan METI Jepang bertemu Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk membahas PLTGU Jawa 1 Extension,” ungkap Yusri. 

Padahal, kata Yusri, menurut teory dan prakteknya Expansion baru bisa dilakukan setelah Existing Plant berjalan dengan baik dan minimal 32.000 jam operasional. Ini untuk membuktikan bahwa proyek reliable.

“Patut diduga extension ini merupakan upaya untuk menutupi keterlambatan dan recovery keekonomian proyek yang sudah masuk ke zona merah. Persoalannya adalah, apakah valid melakukan extension proyek di atas proyek bermasalah? Jika ternyata bahwa extension tersebut juga mengalami persoalan yang sama, alias menumpuk masalah yang sama, berapa kerugian proyek dan kerugian yang harus ditanggung Pertamina sebagai investor dan pimpinan proyek?,” beber Yusri. 

Idealnya, kata Yusri, harus dilakukan audit management proyek yang minimal mencakup aspek teknis dan keekonomian proyek, termasuk keanggotaan konsorsium. Audit harus dilakukan oleh lembaga independent untuk kemudian mendapatkan rekomendasi yang komperehensif.

Marubeni Harusnya Masuk Daftar Black List?

Terhitung 12 Febuari 2019, PT Pertamina Geotermal Energi (PGE) melalui surat bernomor 053/PGE00/2019-SO telah bersurat kepada SVP Corporate HSSE untuk diusulkan masuk dalam kategori hitam dan tidak boleh mengikuti tender di lingkungan PT PGE.

Penyebabnya, telah terjadi kecelakaan kerja yang menyebabkan dua korban meninggal dunia termasuk kategori fatality pada 1 September 2019 di wilayah proyek EPCC PLTP Unit 1 Lumut Balai, Sumatera Selatan. 

“Seharusnya SVP HSSE yang secara struktur Holding berada langsung di leher Dirut Pertamina seyogyanya bisa mencatatkan perusahaan Marubeni Corporation ini dalam daftar hitam rekanan di PT Pertamina,” kata Yusri.

Namun faktanya, kata Yusri, PT PPI ternyata masih diperkenankan berkonsorsium dengan Marubeni untuk proyek IPP Bangladesh 1200 MW dan proyek Grass Root Refinery Tuban.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.