Lima Ambiguitas Putusan MK terkait Pembatalan UU Cipta Kerja

oleh
Denny Indrayana. foto/antara

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (“Putusan MK 91”) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang pada dasarnya menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) segera menjadi perbincangan bahkan perdebatan publik. Bagaimana memahami Putusan 91 yang dibacakan pada Kamis, 25 November 2021 tersebut?

Memang tidak terhindarkan setiap putusan akan mengundang perbedaan interpretasi dan perdebatan. Namun, seperti dalam banyak putusan yang coba mengakomodir berbagai kepentingan dan berusaha mencari jalan tengah, akhirnya Putusan MK menjadi ambigu, terkesan tidak konsisten, justru menimbulkan ketudakpastian hukum, dan akhirnya menjadi sumber munculnya perselisihan dalam implementasinya.

Melakukan uji formil dengan Putusan MK 91—yang menilai keabsahan prosedur pembuatan undang-undang—bukan terkait isinya, Mahkamah pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang. Namun, karena alasan memahami alasan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar-UU, MK memberi permakluman inkonstitusionalitas itu diberi masa toleransi paling lama 2 (dua) tahun. Jika dalam dua tahun itu tidak dilakukan perbaikan berdasarkan landasan hukum yang baku, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Inilah ambiguitas yang pertama. Karena UU Cipta Kerja yang tegas-tegas dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, masih diberi ruang untuk berlaku selama dua tahun, di antaranya karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan. Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku.

Ambiguitas kedua, berkait dengan putusan-putusan yang bersamaan dikeluarkan MK tentang UU Cipta Kerja pada tanggal 25 November 2021. Dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 10 (sepuluh) di antaranya “kehilangan objek” karena Putusan MK 91 sudah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Cipta Kerja maksimal selama 2 (dua) tahun (vide Amar 4 Putusan 91 MK). Sehingga bagaimanapun ada kemungkinan isi UU Cipta Kerja tetap berlaku selama dua tahun tersebut. Tegasnya, UU Cipta Kerja mungkin masih berlaku dalam maksimal dua tahun itu, sehingga objek uji materi seharusnya masih ada, dan menjadi ambigu ketika dikatakan “kehilangan objek” untuk diuji isi UU tersebut.

Ambiguitas ketiga, Putusan MK 91 nyata-nyata menyatakan UU Cipta kerja masih berlaku, namun 10 (sepuluh) putusan MK yang lain terkait UU yang sama menyatakan permohonan tidak diterima. Bagaimana mungkin suatu putusan yang masih berlaku tidak boleh diuji isinya? Kecuali, Putusan MK 91 tegas-tegas menyatakan UU Cipta Kerja otomatis tidak berlaku sejak dibacakan, tanpa jeda waktu—apalagi dua tahun, maka bolehlah dinyatakan telah terjadi “kehilangan objek”. Tetapi MK jelas-jelas memberi jeda maksimal 2 (dua) tahun untuk UU Cipta Kerja diperbaiki, dan karenanya masih berlaku. Dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materiil, apakah itu berarti Putusan MK 91 telah menjadi dasar terjadinya ‘impunitas konstitusi’ bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945?

Ambiguitas keempat, karena mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas, putusan MK menimbulkan multi tafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak. Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali. Atas dua pendapat itu, sebenarnya MK telah mencoba memberikan kejelasan pada paragraph 3.20.5 bahwa, meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Cipta Kerja yang “strategis dan berdampak luas … agar ditangguhkan terlebih dahulu”, demikian pula tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas”. Lebih jauh, tidak pula “dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru”. Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan “strategis” dan “berdampak luas”.

Pertimbangan paragraph 3.20.5 itu bahkan dikuatkan menjadi amar ke-7 Putusan MK 91, yang memerintahkan, “menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Berdasarkan amar ke-7 tersebut secara interpretasi terbalik (a contrario) MK memberi ruang bagi berlakunya UU Cipta Kerja, peraturan pelaksanaan, dan kebijakan yang lahir dari UU Cipta Kerja itu sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas. Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Cipta Kerja yang tidak strategis dan tidak berdampak luas itu? Kalau jawabannya TIDAK ADA, lalu untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ADA, untuk apa pula UU Cipta Kerja masih berlaku demi hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas. Padahal uji formil telah menegaskan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945? Apakah itu berarti MK mentoleransi suatu UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi hanya demi pelaksanaan yang sebenarnya tidak strategis dan tidak berdampak luas?

Yang pasti pasal 4 UU Cipta Kerja sendiri mengatur bahwa “… Undang-Undang mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja…” Yang artinya, terjadi tabrakan logika yang serius atau ambiguitas antara amar ke-4 Putusan MK 91 yang menyatakan UU masih berlaku, dengan amar ke-7 yang menangguhkan pelaksanaan tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis. Karena menurut UU Cipta Kerjanya sendiri, semua kebijakannya adalah strategis, sehingga wajar bila muncul penafsiran semua isi undang-undang terkena perintah penangguhan pelaksanaannya, walaupun masih berlaku. Bagaimana bisa MK sampai menghadirkan logika amar putusan yang ambigu dan saling bertabrakan demikian?

Ambiguitas Kelima adalah dalam Putusan MK 91 ini Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Cipta Kerja. Namun, sayangnya MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan senyatanya menihilkan public participation. Terjadi disparitas antara hasil putusan yang teramat jauh. Jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Apapun, Putusan MK 91 sudah final dan berkekuatan hukum tetap (final and binding) dan mau tidak mau harus dihormati. Maka, sekarang tersisa solusinya untuk pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) untuk segera melakukan perubahan atas Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang mengadopsi metode sapu jagat (omnibus law), sehingga bisa menjadi landasan baku perbaikan UU Cipta Kerja. Lebih penting lagi, materi UU Cipta Kerja juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan daulat dan hati rakyat pemilik Republik.

Melbourne, 26 November 2021
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara
Senior Partner INTEGRITY Law Firm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.