Agustinus Edy Kristianto
SEJAK pagi, saya dikirimi WA oleh beberapa kawan yang mengabarkan Direktur Keuangan BUMN PT Pupuk Indonesia Listiarini Dewajanti mengundurkan diri. Alasannya karena tidak setuju mengakui kerugian sekitar Rp1,7 triliun di PT Rekayasa Industri (Rekind), karena permasalahan bisnis dengan kakak Menteri BUMN Erick Thohir, yakni Garibaldi (Boy) Thohir, dalam proyek pembangunan pabrik amonia Banggai, yang dibangga-banggakan Presiden Jokowi itu.
Saya lihat media belum ada yang memuatnya. Tapi, pesan itu tersebar di grup-grup WA terbatas, termasuk para pimpinan media massa. Kita anggap saja itu adalah rumor. Saya sendiri sudah pernah menulis itu pada status beberapa waktu lalu. Gongnya kita nantikan saja berita resminya. Sumber saya kuat, di ring-1.
Dalam setahun direktur keuangan berganti nyaris tiga kali. November 2020, Eko Taufik Wibowo menggantikan Indarto Pamoengkas. Delapan bulan kemudian (Juli 2021), Eko digantikan Listiarini Dewajanti (mantan Senior Executive Vice President BRI). Sekarang—jika rumor itu benar—hanya dalam empat bulan, direktur keuangan berganti lagi.
Benar-benar barang panas, memerlukan utak-atik posisi direktur keuangan. Apa yang Anda sembunyikan, wahai para pejabat? Siapa yang mau Anda sorongkan untuk pasang badan? Jangan macam-macam, urusan pupuk adalah urusan sensitif, menyangkut subsidi langsung pemerintah Rp25 triliun dalam pembiayaannya.
Fakta dan data yang sering saya sampaikan sangat telanjang. Sumbernya pun resmi dan sifatnya terbuka. ET adik Boy adalah fakta. ET Menteri BUMN dan Boy Komisaris Panca Amara Utama (PAU) sekaligus pengurus dan pemegang saham PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) adalah fakta.
Kerja sama pembangunan pabrik amonia senilai US$830 juta adalah fakta. Menteri BUMN adalah mewakili pemegang saham negara di Pupuk Indonesia dan Rekind adalah fakta.
Hapus buku (impairment) proyek sebesar Rp1,735 triliun adalah fakta. Ekuitas Rekind negatif adalah fakta. Potensi kerugian negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Atas Pengendalian Biaya dan Manajemen Proyek Tahun 2016, 2017, dan 2018 pada PT Rekayasa Industri No. 15/AUDITAMA/VII/PDTT/06/2020 tanggal 10 Juni 2020 adalah fakta.
Restatement (penyajian kembali) dalam Laporan Keuangan Pupuk Indonesia Tahun 2020 adalah fakta: Laba tahun 2019 sebesar Rp3,7 triliun diubah menjadi Rp2,9 triliun!
Bagaimana ‘upaya’ di belakang layar untuk ‘menyelesaikan’ masalah proyek itu, saya punya faktanya (tapi tidak saya lampirkan karena itu dokumen internal dan berpotensi masalah hukum ITE): Perjanjian Penyelesaian Terhadap Supplemental Agreement antara PAU dan Rekind tanggal 12 Agustus 2020 yang diteken oleh Chander Vinod Laroya (Presdir PAU) dan Yanuar Budinorman (Dirut Rekind). Perjanjian itu menyepakati berhentinya segala langkah hukum (arbitrase maupun laporan pidana kepolisian).
Orang suka bertanya, kenapa saya tidak lapor ke penegak hukum, KPK, misalnya. Jawabnya: sudah. KPK sudah pegang barang ini sebelumnya, tapi entah bagaimana pengusutannya, sampai sekarang sesepi kuburan.
Lagipula melapor ke KPK perlu ‘upaya lebih’ apalagi melaporkan pejabat yang sedang berkuasa setingkat menteri. Pengalaman saya melaporkan Prakerja dan investasi Telkomsel di GoTo contohnya. Saya diminta detail dugaan keterlibatan pihak yang dilaporkan, dilengkapi data-data, termasuk gambar, rekaman, narasumber informasi… (meskipun saya sudah lampirkan sejumlah bukti).
Saya mau asalkan seluruh anggaran negara untuk KPK sebesar Rp1,3 triliun diberikan ke saya semua, sekaligus kewenangan untuk memanggil saksi, menghadirkan ahli, meminta dokumen, menyadap, menyita, dan sebagainya.
Belum lagi seperti alasan salah satu aparat dari lembaga penegak hukum lain yang bilang menteri adalah lambang negara, jadi tidak bisa sembarangan.
Menurut saya jujur saja bahwa ET adalah sejenis spesies langka yang harus dilindungi oleh hukum. Mungkin begitu. Siapa tahu.
Itulah politik hukum. Penegakan hukum dipengaruhi corak politik kekuasaan. Sering kali ada standar ganda.
Lihat kasus BLBI. Saya ikut sidangnya dan saya cermati untuk membuktikan hubungan antara Syafruddin Temenggung (mantan Ketua BPPN) dan Sjamsul Nursalim, KPK cuma menyampaikan hal-hal remeh seperti kehadiran dalam pesta pernikahan, kunjungan rombongan pejabat ke lokasi tambak, dan sejenisnya.
Rekaman yang dihadirkan juga hanya rekaman rapat kabinet resmi yang tidak membuktikan apa-apa. Makanya wajar KPK kalah di Mahkamah Agung.
Kembali ke kasus Rekind, saya pikir selemah-lemahnya iman adalah buka saja ke publik, seperti yang saya lakukan selama ini melalui Facebook. Biar masyarakat menilai sendiri bagaimana negara ini dikelola. Biar masyarakat mengerti sendiri apakah uang dan fasilitas negara dipakai untuk kegiatan membersihkan toilet atau malah makin mengotorinya. Biar masyarakat tahu bahwa kenyataan tidak semanis slogan yang keluar dari mulut pejabat!***