KETIKA bencana alam banjir dan longsor menerjang Aceh dan Sumatera di penghujung tahun 2025, tidak pernah terbayangkan bencana tersebut begitu dahsyat, karena wilayah tersebut menjadi langganan banjir dan longsor. Tetapi daya dukung hutan sebagai penyanggah air hujan telah tergerus oleh perusahaan besar pengelola kebun sawit, pemilik HPH dan para investor tambang.
Diperburuk oleh curah hujan yang tidak berhenti selama berhari-hari, telah membawa lumpur dan batang pohon meluncur ke wilayah pemukiman di sekitar hutan dan aliran sungai. Dengan sekejap seluruh areal yang diterjang banjir, porak poranda dan luluh lantak tertutup lumpur dan puing-puing batang pohon dengan diameter ada yang mencapai bentangan tangan orang dewasa.
Di tengah kekalutan masyarakat korban bencana alam, lagi-lagi presiden terlambat menerima informasi bencana alam tersebut. Bahkan para menteri pembantu presiden, memberikan keterangan ABS yang sama sekali tidak berdasarkan data aktual di lapangan.
Akibat dasyatnya bencana alam yang menerjang Sumatera dan Aceh, jajaran Pemda yang terdampak bencana alam, menyatakan ketidakmampuan untuk penanganan bencana alam.
Di hadapkan situasi tersebut, publik berharap Presiden Prabowo memberikan pernyataan yang tidak menimbulkan keraguan dan merebaknya tuntutan Presiden Prabowo menyatakan status bencana nasional.
Sejak Gubernur Aceh mengumumkan status tanggap darurat untuk Aceh dan diperpanjang hingga 25 Desember 2025, ternyata tindakan distribusi logistik, evakuasi korban dan perbaikan jembatan secara darurat dan badan jalan yang tertimbun longsor, tanpa henti dilakukan oleh BNPB, Satuan TNI jajaran Kodam Iskandar Muda yang mengerahkan sekitar 13 batalyon dan relawan Aceh.
Hasil monitor langsung di lapangan, kondisi wilayah bencana alam dengan tingkat kesulitan amat berat, untuk mencapai titik-titik bencana, menjadi hambatan terlambatnya distribusi logistik dan evakuasi korban. Tetapi prajurit TNI dari satuan Zeni tidak menyerah, terus berupaya membangun jembatan belli, sehingga pada tahap kedua tanggap darurat, daerah terisolir dapat dibuka kembali.
Bahkan di awal bencana, untuk mendistribusikan logistik sebanyak 3 ton dari Banda Aceh ke Aceh Tengah, seorang relawan mengatakan butuh biaya pengiriman hingga Rp 25 juta, untuk biaya menyeberangi sungai dan biaya angkut barang bantuan tersebut.
Berita-berita yang selama ini amat menyudutkan jajaran pelaku lapangan pada tahapan tanggap darurat, nampaknya lebih didorong oleh sikap politik Presiden Prabowo yang terkesan mengabaikan bantuan dari pihak asing dan jajaran kementerian yang tidak padu dalam penanganan bencana.
Tetapi fakta dilapangan tidak bisa dinafikan, bahwa BNPB, TNI dan relawan day to day terus bekerja tiada henti, menerjang sulitnya lokasi bencana untuk melakukan evakuasi dan mendistribusikan logistik berupa makanan, obat-obatan dan kebutuhan harian korban dengan berbagai cara. Di antaranya melalui udara mengerahkan sejumlah helikopter dan pesawat fixwing serta ratusan truk mengangkut logistik ke lokasi bencana dengan tantangan yang amat sulit.
Hasil pantauan langsung di lokasi bencana, amatlah naif jika mengabaikan kerja keras BNPB, TNI, Relawan dan Pemda, walaupun mereka tidak berharap puji atau balas budi. Dari pengalaman bencana alam Aceh dan Sumatera, yang perlu dilakukan koreksi adalah jajaran kementerian, karena memandang tidak ada status bencana nasional, maka upaya jajaran kementerian sangat mencederai rasa kesetiakawanan sosial.
Dalam rangka menghadapi tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi, Presiden Prabowo harus konsekuen dalam bertindak, dengan mengerahkan seluruh kementerian dan lembaga terkait secara terpadu. Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi sangat kritis, jika tidak didahului oleh perencanaan yang matang dan terukur.
Teringat oleh ungkapan menggelitik, “Jika bencana alam datang, orang hanya ingat tuhan, BNPB dan TNI. Tetapi jika situasi kembali normal, orang akan lupakan tuhan, BNPB dan TNI.” ***
Sri Radjasa
Pemerhati Intelijen



