Bangsa Ini Pengecut, Gunakan Hukum untuk Kejahatan

oleh
Immanuel Ebenezer Gerungan. foto/tvonenews.com

KASUS operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan, ramai menjadi pemberitaan di media sosial. Berbagai ulasan menyangkut latar belakang penangkapan Noel, panggilan akrab Wamenaker, membuat publik semakin bias dalam memaknai penegakan hukum. 

Sejatinya penegakan hukum semata-mata hanya memiliki satu tujuan, yaitu menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat. Tetapi di negeri ini penegakan hukum, bisa jadi untuk kepentingan kekuatan politik tertentu menghantam lawan politik. 

Ada juga modus penegakan hukum, untuk kepentingan bisnis oligarki atau para cukong. Kemudian ada upaya hukum, untuk memuaskan dendam politik semata. 

Jadi tidak heran jika kita akan kesulitan, untuk mencari orang jahat di penjara. Karena mereka bercokol di pusat-pusat kekuasaan, bahkan merekalah yang menguasai lembaga hukum.

Fenomena penegakan hukum untuk sebuah kejahatan, dilakukan oleh para pemangku kebijakan, mengisyaratkan bahwa bangsa ini diajarkan untuk menjadi bangsa pengecut, bangsa yang sama sekali tidak memiliki jiwa kesatria, bangsa yang memandang perbedaan adalah lawan, bangsa yang menjilat kepada kekuasaan. 

Kembali kepada kasus Noel, adalah potret terkini yang menggambarkan betapa pengecutnya para aparat hukum, betapa miskin harga diri para aparat hukum. Dengan jumawa menangkap Noel, ketika dia mulai keras terhadap kubu Jokowi. 

Tetapi aparat hukum tidak lebih seperti kecoak, ketika berhadapan dengan Silfester, Budi Arie, Bahlil atau Bobby, karena mendapat perlindungan Jokowi. Inilah sikap “musyrik” aparat hukum, hanya takut kepada sang pembohong Jokowi, ketimbang kepada Allah SWT sang maha pencipta.

Kini tersingkap sudah tabir gelap pemicu carut marutnya kehidupan berbangsa bernegara yang mengakibatkan kualitas hidup bangsa ini semakin merosot hampir ke titik nadir. 

Bangsa ini semakin tersisih dari pergaulan internasional, karena dipandang sebagai bangsa yang tidak menjunjung tinggi etika, hukum dan demokrasi. Semua kegaduhan di negeri ini, akibat mental dan moral aparat hukum yang “serakahnomic dan tamaknomic”. Harga diri para penegak hukum jatuh hingga mendekati titik “0” yang mengakibatkan “pengadilan” menjadi pasar gelap jual beli hukum.

Sikap tenang pemerintahan baru Presiden Prabowo menghadapi dinamika stabilitas nasional yang rapuh, akibat sepak terjang kubu Jokowi, patut diwaspadai akan memicu amuk massa karena frustasi oleh masa depan yang tidak pasti.

Kepada Presiden Prabowo, diharapkan tidak keliru dalam menerapkan politik balas jasa. Dalam etika politik balas jasa, hakekatnya adalah tanggung jawab moral presiden untuk mensejahterakan rakyat yang telah mempercayai Prabowo sebagai presiden, bukan kepada Jokowi yang selama 10 tahun menciptakan kerusakan terstruktur terhadap bangsa ini. 

Bagi Presiden Prabowo yang telah setahun menjalani masa pemerintahannya, hanya ada satu kalimat untuk menyelamatkan bangsa ini “ It’s now or never”.***

Sri Radjasa MBA

Pemerhati Intelijen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.