Karen Agustiawan Divonis, Cheniere Punya Hak Untuk Terminasi Kontrak LNG Dengan Pertamina

oleh

JAKARTA – Kasus LNG antara Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) anak Usaha Cheniere Energy dari Amerika Serikat sudah bergulir sekian lama, Karen Agustiawan mantan Dirut Pertamina sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Juni 2022, ditahan sejak 19 September 2023, didakwa, diadili, serta diputus kasusnya oleh Majelis Hakim Tipikor pada tanggal 24 Juni 2024 yang lalu.

Namun demikian, menurut Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman, Jumat (28/6/2024) di Jakarta, Cheniere, perusahaan Amerika Serikat, yang juga merupakan perusahaan publik di sana, hanya diam dan tidak pernah mau ikut bertanggung jawab terhadap kasus ini.

“Mereka bukannya tidak tahu kasus ini, sebab katanya mereka pernah diperiksa oleh KPK dan BPK pada bulan September tahun lalu, tetapi entah ketemu atau tidak itulah menjadi masalah sesuai dengan pernyataan Karen pada saat membacakan pledoinya, bahkan katanya dalam rombongan itu ada beberapa orang Pertamina” ungkap Yusri.

Yusri mengatakan, Cheniere sungguh tidak ada empatinya sama sekali terhadap Karen yang telah berjasa ikut mengembangkan proyek mereka, yang juga sudah memberikan keuntungan baik buat Cheniere maupun Pertamina.

“Saat ini, vonis 9 tahun sudah dijatuhkan oleh majelis hakim Tipikor Jakarta yang sering tertidur dari video yang beredar, meski terlambat, sudah waktunya Cheniere untuk bertindak. Jika masa penyidikan dan persidangan mereka hanya berdiri jauh dari kasus ini, maka setelah perkaranya diputus hakim, sebaiknya Cheniere bertindak serius untuk melakukan terminasi kontrak,” kata Yusri.

Terminasi kontrak ini, lanjut Yusri, sangat penting untuk menghentikan dugaan rekayasa kriminalisasi kasus hukum LNG antara Pertamina dengan Cheniere.

“Pasalnya, perhitungan BPK yang hanya menghitung secara parsial kerugian Pertamina, terbatas pada tahun 2020 dan 2021 dan mengesampingkan keuntungan pada tahun 2019, 2022 dan 2023,” kata Yusri.

Dengan perhitungan secara parsial ini, ungkap Yusri, maka Pertamina wajib untuk mendapatkan untung pada setiap penjualan kargo per kargo.

“Jika di kemudian hari, terjadi lagi satu kargo saja rugi, maka Karen dapat diancam dengan hukuman yang sama. Meski Pertamina secara komulatif untung, KPK, BPK, dan majelis hakim tidak peduli lagi, karena sudah ada yurisprudensi keputusan Pengadilan Tipikor sebelumnya,” ungkap Yusri.

Untuk menghindari kasus seperti ini berulang, lanjut Yusri, maka buat Karen dan kawan-kawan, akan merasa lebih baik, jika Sales & Purchase Agreement (SPA) tahun 2015 ini diterminasi atau dihentikan. Mumpung saat ini, Pertamina juga sudah dalam keadaan untung sekitar USD 91,5 juta.

“Masalahnya apakah Cheniere dalam posisi untuk membatalkan atau meneruskan, ini yang perlu dicermati dengan baik. Namun demikian, secara legal formal, Cheniere mempunyai hak untuk menghentikan kontrak sesuai dengan pasal 17, 20 dan 26 dari SPA 2015 tersebut,” ungkap Yusri.

Yusri membeberkan, isi pasal 17 dari SPA 2015 pada poin 17.1.1 menyatakan, “Buyer is and shall remain duly formed and in good standing under the laws of the Republic of Indonesia;”

Sedangkan pada poin 17.1.4 menyatakan, “Neither the execution, delivery, nor performance of this Agreement violates or will violate, results or will result in a breach of or constitutes or will constitute a default under any provision of Buyer’s organizational documents, any law, judgment, order, decree, rule, or regulation of any court, administrative agency, or other instrumentality of any Governmental Authority or of any other material agreement or instrument to which Buyer is a party.”

Lebih lanjut dalam poin 17.3 tentang “Business Practices” menyatakan, “Each Party represents and warrants to the other, as of the Effective Date, that it has not taken any actions that would, if such actions were undertaken after the Effective Date, conflict with such Party’s obligations under Section 26.3.”

Sedangkan pasal 20 tentang Default and Termination Event, maka termination eventnya disebutkan pada poin 20.1.3 yang menyatakan, “in respect of either Party, violation of Sections 17.3 or 26.3.1(ii) by the other Party.”

Sementara itu, pasal 26 tentang Prohibited Practices dari SPA 2015 poin 26.3.1 menyatakan, “Each Party agrees that in connection with this Agreement and the activities contemplated herein, it will take no action, or omit to take any action, which would (i) violate any Applicable Law applicable to that Party, or (ii) cause the other Party to be in violation of any Applicable Law applicable to such other Party, including the U.S. Foreign Corrupt Practices Act, the OECD convention on anti-bribery, the U.K. Bribery Act of 2010, E.U. and E.U. member country anti-bribery and corruption laws, and corruption or any similar statute, regulation, order or convention binding on such other Party, as each may be amended from time to time, and including any implementing regulations promulgated pursuant thereto.”

“Dengan mengacu pada pasal-pasal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Cheniere mempunyai dasar yang kuat untuk menghentikan SPA 2015. Apalagi dengan harga pasar yang jauh lebih tinggi dari harga LNG CCL, tentu mereka tidak kawatir LNG mereka tidak laku di pasar,” ungkap Yusri.

Menurut Yusri, tinggal Pertamina yang akan gigit jari, sebab sebagian besar kargo LNG CCL sampai dengan 2030 sudah laku terjual, utamanya kepada pihak Total Trading.

Yusri juga mengungkapkan, SPA 2015 yang merupakan public domain tersebut dapat diakses siapa pun pada link https://www.sec.gov/Archives/edgar/data/3570/000000357015000084/exhibit105cei20151stqtr.htm. “Sehingga semua orang bisa mempunyai akses untuk membukanya,” pungkas Yusri.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.