JAKARTA – Pergantian mendadak Direktur Utama (Dirut) Subholding PT. Pertamina Gas Negara Tbk (PGN), M Haryo Yunianto dan Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, Heru Setiawan oleh Menteri BUMN pada RUPST (Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan) PT PGN pada Selasa 30 Mei 2023, mengejutkan banyak pihak.
Saat itu, semua pemegang saham emiten berkode PGAS tersebut sepakat mengangkat Arief Setiawan Handoko, mantan Deputy Keuangan dan Monetisasi SKK Migas sebagai Dirut PGN dan Harry Budi Sidharta sebagai Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), penyebab pergantian tersebut belakangan terungkap. Pergantian itu ternyata akibat ketidakhati-hatian Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN dalam melakukan kotrak jual LNG selama 4 tahun dengan perusahan Gunvor Singapore Pte Ltd (Gunvor).
“Kelalaian itu bisa berpotensi mengalami kerugian sekitar USD 250 juta pertahun, jika untuk kontrak 4 tahun bisa mencapai USD 1 miliar atau setara Rp 15 triliun potensi kerugian akan dialami PT PGN,” beber Yusri.
Sebelumnya, kata Yusri, tujuh bulan yang lalu, Dewan Direksi PT PGN lebih dulu telah mencopot tiga pejabatnya yang terkait langsung dengan urusan bisnis LNG ini, sekitar Oktober 2022.
“Sebab, pada 23 Juni 2022, PT PGN telah menanda tangani Confirmation Note (CN) sesuai klausul 2.1 dari Master LNG Sale and Purchase Agrement (MSPA) dengan Gunvor, mulai 1 Januari 2024 hingga 31 Desember 2027, PGN wajib mensuplai Gunvor setiap bulan 8 kargo LNG selama 4 tahun,” jelas Yusri.
Dikatakan Yusri, hal itulah yang menyebabkan PGN wajib menyediakan seluruh kargo tersebut sesuai MSPA, jika tidak akan kena klaim pinalti denda cukup besar.
“Cilakanya, kargo LNG yang dijual PGN ke Gunvor adalah kargo LNG milik Pertamina Holding, yaitu berasal dari kontrak pembelian kargo LNG antara Pertamina dengan perusahaan yang berbasis di Australia, Woodwide Energy Ltd,” ungkap Yusri.
Namun menurut Yusri, langkah dini deal bisnis LNG dengan market yang dilakukan PGN, mungkin saja lantaran awalnya mendengar ada perintah dari internal Pertamina Holding untuk mengalihkan pengelolaan LNG ke PGN, jadi soal lemahnya kordinasi antara PGN dengan Pertamina Holding diduga sebagai penyebab timbulnya masalah dengan Gunvor.
Konon kabarnya, kata Yusri, KPK telah bersurat ke Pertamina Holding meminta agar pengelolaan LNG sementara tidak dialihkan ke PGN dahulu sampai penyidikan KPK selesai. Dengan kata lain, kargo boleh dijual tapi di bawah pengelolaan Pertamina Holding. KPK diketahui sedang berupaya menuntaskan proses penyidikan kasus kontrak LNG Pertamina dengan Corpus Christy Liquefection Liability Company, anak usaha Cheneire Energi Inc sebuah perusahaan energi yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat.
“Akibatnya, untuk mengatasi masalah potensi gagal suplai LNG oleh PT PGN, adalah lagi berjuang keras mencari sumber kargo LNG baru di pasaran, jikapun dapat kargo LNG tersebut, diperkiraan dengan harga mahal, kemahalan itulah potensi kerugian yang akan dialami PGN ke depan,” kata Yusri.
Persoalan kargo LNG itu belakangan diketahui lantaran direksi PGN dianggap kurang berkoordinasi dengan pejabat Pertamina Holding yang mengurusi bisnis LNG.
“Pada saat direksi PGN meminta bantuan Pertamina, tentu menjadi dilematis karena harga kontrak LNG Pertamina dengan perusahaan Australia lebih tinggi dibanding harga jual LNG PGN ke Gunvor, sehinga pilihannya hanya apakah PGN atau Pertamina Holding yang harus menanggung rugi,” tukas Yusri.
“Kami tidak mengetahui secara pasti apakah Pertamina Holding sudah menggunakan leverage-nya untuk membantu PGN dalam melakukan negosiasi dengan pihak Gunvor,” tambah Yusri.
Menurut Yusri, harusnya Pertamina Holding bisa menekan Gunvor untuk mengurai potensi kerugian yang akan diderita PGN, lantaran Gunvor banyak terikat bisnis suplai minyak ke Pertamina.
Sehingga timbul pertanyaan di market, mengapa Pertamina Holding tidak menggunakan leverage-nya untuk menolong PGN ?, tanya Yusri.
Sehingga menurut Yusri, kasus ini memberi kesan ada masalah kordinasi antara Pertamina Holding dengan Subholding PGN.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, CERI telah melakukan konfirmasi ke Corporate Secretary PT PGN, Rahmat Hutama pada Rabu (31/5/2023) sore. “Dia hanya menjawab singkat, saya kurang tau juga sih,” kata Yusri menirukan keterangan Rahmat Hutama.
Keterangan Rahmat itu menurut Yusri berbeda halnya ketika CERI pada saat bersamaan mengkonfirmasi hal tersebut kepada mantan Dirut PGN, M Haryo Yunianto.
“Dia menjawab tegas. Katanya, sudah selesai audit investigasi Fraud dari Holding Pertamina serta adanya audit BPK-RI, karena ada pedoman yang dilanggar di Direktorat Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN, Insha Allah team PGN sudah melakukan mitigasi untuk solusi terbaik buat PGN,” ungkap Yusri merujuk keterangan Haryo kepadanya.
Menurut Yusri, begitu juga ketika hal yang sama dikonfirmasi CERI kepada SVP Perencanaan Pengembangan Usaha PT Pertamina Holding yang khusus menangani LNG, Aris Mulya Azof.
Aris mengatakan kepada CERI, bahwa untuk penjualan LNG Pertamina belum terjadi karena ada price review dalam kontrak antara Pertamina dengan seller yang merubah harga, membuat PGN harus mencari sumber LNG lain dengan harga yang sesuai.
“Namun ketika CERI meminta pendapat mantan pejabat tinggi Pertamina yang sangat paham proses bisnis di holding dan subholding, dia hanya berkomentar singkat, wah, kenapa bisa begini, yang jelas awalnya dia dengar Dirut Pertamina sangat memuji-muji deal PGN-Gunvor, tapi di tataran teknis, ternyata tidak ada koordinasi di antara mereka ya?,” kata Yusri mengutip mantan pejabat Pertamina itu.
Jadi menurut Yusri, dari keterangan pejabat Pertamina Holding tersebut, bisa jadi pada saat PGN-Gunvor sedang melakukan deal MSPA-CN, justru Pertamina Holding juga sedang ditengah proses negosiasi Price Review dengan Woodwide Energi yang meminta kenaikkan harga jual LNG nya. (*)