MEDAN – PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) yang 95 persen sahamnya milik asing, telah mendapat pekerjaan dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tanpa mekanisme tender alias tunjuk langsung. Diduga penunjukan langsung itu telah melanggar Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Nomor A7-001/PHE52000/2021-S9 untuk skema gross split.
Jika ada penunjukan di era PT Chevron Pasifik Indonesia (PT.CPI) dengan skema “cost recovery”, diduga melanggar PTK 007 Rev 4, maka SKK Migas ikut bertanggung jawab.
Sebab, penunjukan langsung itu selain melanggar aturan pengadaan barang yang ada di internal, ternyata melanggar UU nmr 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Rabu (15/3/2023) di Medan.
“Jajaran Direksi PT PPLI didominasi warga negara Jepang, hanya salah satu anggota komisaris saja yang Warga Negara Indonesia, bernama Ilham sebagai mantan pejabat penting di KLHK,” ungkap Yusri.
Informasinya, kata Yusri, Ilham merupakan Ketua Tim Audit Lingkungan Blok Rokan bentukan Menteri LHK Siti Nurbaya pada tahun 2020, hasilnya PT CPI masih mewariskan sekitar 6 juta meter kubik limbah B3 Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) dan sekitar 2000 sumur yang belum ditutup, serta puluhan fasilitas produksi yang sudah tidak terpakai, tetapi hingga saat ini belum dipulihkan.
Dapat dipastikan, “pembiaran terhadap limbah TTM B3 itu juga pelanggaran hukum yang nyata terhadap UU Lingkungan Hidup”, kata Yusri.
“Belakangan juga diketahui, pada Surat Kuasa Khusus Menteri Lingkungan Hidup Nomor KS.40/Menlhk/Setjen/Kum.5/8/2021 tanggal 18 Agustus 2021 pada Perkara Gugatan Lingkungan Hidup Nomor 150/Pdt.G/LH/2021/PN.Pbr, nama Ilham Malik MSc dan Rosa Vivien Ratnawati SH MSD merupakan penerima kuasa,” ungkap Yusri.
Pada saat surat kuasa khusus itu dibuat, sambung Yusri, sama-sama diketahui publik bahwa nama Rosa Vivien Ratnawati merupakan Komisaris Utama PT PHR sekaligus sebagai Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK. Ia pun masih menjabat pada jabatan itu hingga saat ini.
Sedangkan Ilham Malik, kala surat kuasa itu dibuat, tak lain merupakan Deputi Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3 dan Sampah KLHK.
“Melihat nama-nama yang menurut kami saling berkaitan itu terkesan kental penuh dugaan konflik kepentingan, serta jika harga penunjukan langsung PHR kepada PPLI itu nilai kontraknya jauh lebih mahal dari kontraktor sebelumnnya, selisihnya sekitar Rp 5,5 juta permeter kubik, maka dapat diduga telah memenuhi dua unsur untuk tindak pidana korupsi,” ungkap Yusri.
Banyak pihak menduga proses penujukan langsung itu terkait kewenangan KLHK dalam menyetujui Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup (RPFLH) dan kewenangan menerbitkan Surat Status Penyelesaian Lahan Terkontaminasi (SSPLT) yang merupakan kewenangan KLHK.
Dijelaskan Yusri, jika terpenuhi adanya unsur melawan hukum dan adanya potensi kerugian akibat kemahalan harga kontrak, merupakan kewajiban penegak hukum untuk mengusut lebih jauh apakah ada dugaan Tindak Pidana Korupsi terhadap kontrak antara PT PHR dengan PT PPLI.
“Selain itu, dengan adanya putusan PN Rokan Hilir pada 10 Maret 2023, Majelis Hakim PN Rohil mengatakan bahwa terbukti PT PPLI dalam amar putusannya Harry Rahmady sebagai karyawan PT PPLI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran sebagai pengurus tidak melaksanakan kewajiban membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di tempat kerja dan instalasi yang mempunyai resiko besar terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan radioaktif sèrta tidak melaksanakan syarat K3 Lingkungan Kerja yang telah menyebabkan meninggalnya 3 pekerja PT PPLI kecebur kedalam kontainer limbah di Balam pada 24 Febuari 2023 di WK Migas blok Rokan, Riau,” sambung Yusri.
Untuk menghindari potensi akan jatuhnya korban susulan akibat kecelakaan kerja, tegas Yusri, sudah seharusnya PT PHR untuk menghentikan segera kegiatan PT PPLI di WK Migas Blok Rokan.(*)